Abdurrahman Dimasyqiyat adalah salah satu tokoh Wahhabi
kelahiran Lebanon. Nama lengkapnya Abdurrahman Muhammad Sa’id Dimasyqiyat.
Karya-karyanya mulai populer di kalangan Wahhabi Indonesia. Bahkan banyak pula
tulisannya yang dipublikasikan melalui program software Maktabah Syamilah.
Tetapi dari kalangan Wahhabi sendiri tidak banyak yang tahu siapa sebenarnya
Abdurrahman Dimasyqiyat.
Masa lalunya penuh dengan skandal. Di setiap tempat yang
pernah disinggahinya, ia selalu bikin ulah. Lidahnya selalu menghujat umat
Islam, generasi salaf (terdahulu) maupun generasi khalaf (terkemudian).
Kerjanya, merubah ajaran agama. Mencela para kekasih Allah subhanahu wa ta’ala.
Menyerang orang-orang saleh. Kebiasaannya, mencela orang-orang yang baik. Ia
lupa bahwa Allah subhanahu wa ta’ala telah berfirman dalam hadits qudsi,
“Barangsiapa yang memusuhi kekasih-Ku, maka Aku deklarasikan perang
terhadapnya.”
Akibat ulahnya, akhirnya orang-orang banyak tahu kebusukan
masa lalunya. Petualangannya dengan wanita-wanita cantik dan kegemarannya
mengikuti para biduanita menjadi obrolan dari mulut ke mulut. Banyak pula yang
membicarakan kisah-kisah kelamnya ketika di Universitas al-Azhar Cabang Lebanon
dulu, dalam pemeriksaan yang suaranya direkam -rekamannya masih ada sampai
sekarang, dan saksi-saksinya masih hidup-, di mana dalam rekaman itu ia
mengakui telah melakukan perbuatan asusila, yaitu melakukan homo sex, yang
dituduhkan kepadanya. Akibatnya, ia pun dikeluarkan dari Azhar Lebanon pada
tahun 1972.
Kasus itu, diakuinya sendiri. Abdurrahman Dimasyqiyat tidak
menepis kejadian itu. Ia tidak menutup-nutupi aib dirinya. Bahkan tanpa merasa
malu ia berterus terang telah melakukannya. Seakan-akan ia bangga dengan
perbuatannya. Dengan enteng ia berkata, “Pada waktu itu aku masih belum baligh,
catatan amal masih belum berlaku bagiku”.
Tentu saja pengakuan seperti ini tidak aneh dari seseorang
yang telah memutus hubungan dengan kerabatnya. Menyakiti kedua orang tuanya.
Selalu gagal mencari pekerjaan yang mendatangkan hasil yang halal di Lebanon
dan di Perancis.
Akhirnya, apa boleh dikata, Abdurrahman Dimasyqiyat
menjulur-julurkan lidahnya di belakang uang logam dan dolar sebagai penulis
bayaran kaum Wahhabi. Ia memulung sisa-sisa makanan di bawah meja orang-orang
gendut berperut besar dan berhati keras sekeras batu. Yaitu kaum Musyabbihah
(kaum yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya) dan kaum anti tawassul.
Di antara mukjizat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
adalah sabda beliau yang memperingatkan umatnya agar berhati-hati dengan kaum
Wahhabi sebelum kemunculan mereka. Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda,
“Kepala kekafiran muncul di arah timur.” Dalam hadits lain, Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam menunjuk ke arah timur, daerah Najd, dan bersabda:
“Fitnah akan muncul dari sana, fitnah akan muncul dari sana, dan diucapkannya
sampai tiga kali”. Kedua hadits ini diriwayatkan oleh al-Bukhari.
Akhirnya semua orang tahu siapa sebenarnya Abdurrahman
Dimasyqiyat. Identitasnya terungkap di Swedia. Ia melarikan diri dari
perdebatan setelah menyetujui kesepakatan pada waktu yang dijanjikan. Kemudian
ia mengira bahwa pengikut kebenaran melupakannya begitu saja ketika ia di
Australia. Ternyata Abdurrahman Dimasyqiyat menyetujui debat publik bersama Syaikh
Salim Alwan al-Hasani. Namun kemudian Dimasyqiyat takut, ragu-ragu dan berupaya
menghindar. Sementara pengikutnya melakukan teror dan ancaman. Akan tetapi
takdir Allah subhanahu wa ta’ala pasti terjadi. Akhirnya perdebatan terjadi.
Kebenaran tampak dan kebatilan sirna. Sesungguhnya kebatilan pasti sirna.
Abdurrahman Dimasyqiyat telah berkali-kali diminta melalui
radio dan surat kabar, agar siap berdebat. Namun ia selalu melarikan diri.
Akhirnya ia pun terpaksa datang karena takut malu. Ia datang ke aula
Universitas Melbourne pada tanggal 9 November 1994. Di aula itu telah disiapkan
meja untuk Syaikh Salim Alwan dan Syaikh Abdurrahman al-Harari. Di depannya ada
meja yang disiapkan untuk Abdurrahman Dimasyqiyat dan dua orang temannya. Di
tengah meja itu ada mimbar untuk moderator.
Yang menarik perhatian, pada waktu itu Abduraahman
Dimasyqiyat membawa komputer yang sering digunakannya untuk mengeluarkan
dalil-dalilnya yang lemah. Sepertinya ia memang tidak hapal teks dan tidak
menguasai banyak persoalan. Kemampuannya hanya mengulang-ulang pernyataan orang
yang menjadi sutradara di belakangnya, yaitu kaum Wahhabi.
Perdebatan dimulai. Syaikh Salim melontarkan pertanyaan
kepada Abdurrahman Dimasyqiyat: “Kalian kaum Wahhabi menghukumi bahwa memanggil
orang yang tidak ada di depannya atau memanggil orang mati (nida’ al-ghaib aw
al-mayyit), seperti berkata “Ya Muhammad, atau ya Rasulallah (wahai Muhammad
atau wahai Rasulullah)”, itu syirik akbar (besar) sebagaimana ditetapkan oleh
Ibn Abdil Wahhab al-Najdi dalam kitab al-Ushul al-Tsalatsah. Sekarang, ini
al-Imam al-Bukhari meriwayatkan dalam al-Adab al-Mufrad, bahwa Abdullah bin
Umar pada suatu hari kakinya mengalami mati rasa. Lalu ada orang berkata kepada
beliau, “Sebutkan orang yang paling Anda cintai.” Lalu Ibn Umar berkata, “Ya
Muhammad (Wahai Muhammad)”. Maka seketika itu kakinya sembuh.
Apakah kalian kaum Wahhabi akan mencabut pendapat kalian.
Dan ini yang kami kehendaki. Atau kalian akan memutuskan bahwa Abdullah bin
Umar, alImam al-Bukhari, para perawi al-Bukhari, dan bahkan Ibn Taimiyah yang
kalian sebut Syaikhul Islam, dan al-Albani pemimpin kalian, mereka semuanya
kafir. Coba renungkan inkonsistensi Wahhabi ini. Pendapat mereka dapat
mengkafirkan pemimpin-pemimpin mereka sendiri, yaitu Ibn Taimiyah dan alAlbani,
bahkan mengkafirkan seluruh umat Islam, antara lain sahabat Abdullah bin Umar,
dan sahabat-sahabat lainnya.”
Mendengar pertanyaan Syaikh Salim, mulailah serangkaian
kebohongan Abdurrahman Dimasyqiyat. Setelah Syaikh Salim mengajukan pertanyaan
tersebut, Dimasyqiyat kebingungan. Lalu ia berkata: “Lafal “Ya Muhammad”, hanya
terdapat dalam naskah cetakan kitab al-Adab al-Mufrad yang di-tahqiq Ustadz
Kamal al-Hut. Dalam naskah-naskah lain, yang ada hanya lafal “Muhammad”, tanpa
“Ya” untuk memanggil.”
Mendengar pernyataan Dimasyqiyat, Syaikh Salim segera
mengeluarkan beberapa naskah al-Adab al-Mufrad yang dicetak oleh
percetakan-percetakan lain. Ternyata, semuanya sepakat memakai redaksi “Ya
Muhammad”. Sehingga hal tersebut membuktikan kebohongan Dimasyqiyat.
Kemudian, Dimasyqiyat semakin terkejut, ketika Syaikh Salim
memperlihatkan naskah kitab al-Kalim al-Thayyib karangan Ahmad bin Taimiyah
al-Harrani, panutan kaum Wahhabi yang mereka sebut Syaikhul Islam. Di mana
dalam kitab tersebut Ibn Taimiyah menyebutkan hadits Ibn Umar di bawah judul,
“Bab yang diucapkan seseorang ketika kakinya mati rasa”. Naskah ini dicetak
oleh kaum Wahhabi dan dikoreksi oleh Nashiruddin al-Albani, pemimpin mereka
yang kontradiktif, yang menganggap perbuatan Ibn Umar itu syirik dan menentang
tauhid.
Dimasyqiyat telah berusaha mengingkari lafal “Ya” yang
terdapat dalam hadits Ibn Umar dengan redaksi “Ya Muhammad”. Dimasyqiyat
berkata, bahwa ia telah mencari lafal “Ya”, ternyata tidak menemukannya.
Akhirnya Syaikh Salim berkata: “Al-Albani, pemimpin kalian
yang kontradiktif, berkata dalam al-Kalim al-Thayyib hal. 120 dalam
mengomentari hadits “Ya Muhammad” yang disebutkan dan dianjurkan oleh Ibn
Taimiyah untuk diamalkan, sebagaimana terbaca dari judul kitabnya al-Kalim al-Thayyib
(kalimatkalimat yang baik). Al-Albani berkata: “Kami memilih menetapkan “Ya”,
karena sesuai dengan sebagian manuskrip yang kami temukan.”
Anda telah gagal wahai Dimasyqiyat. Kami menuntut Anda
berdasarkan pimpinan-pimpinan Anda yang kontradiktif, di mana al-Albani
menemukan manuskrip yang di dalamnya terdapat lafal “Ya Muhammad”, lalu dia
anggap menentang tauhid dan termasuk perbuatan syirik menurut asumsinya. Coba
Anda lihat (hal. 16 kitab al-Kalim al-Thayyib), yang dicetak di percetakan
alSyawisy al-Wahhabi dengan nama al-Maktab al-Islami, ta’liq (komentar)
Nashiruddin al-Albani, pemimpin Wahhabi yang kontradiktif. Pernyataan alAlbani
menjadi dalil yang menggugat Anda dan dia sendiri.
Kemudian Syaikh Salim memperlihatkan naskah tersebut dan
berkata kepada Abdurrahman Dimasyqiyat: “Aku ulangi pertanyaanku lagi kepada
Anda, untuk mengingatkan bahwa Ibn Taimiyah menyebut atsar (hadits) ini dan
menetapkannya. Ia tidak menjadikannya sebagai kesyirikan dan kekufuran.
Bagaimana komentar Anda. Adakalanya Anda mengatakan bahwa Abdullah bin Umar,
al-Bukhari sampai pimpinanmu, Ibn Taimiyah adalah orang-orang sesat dan kafir.
Atau Anda mencabut pendapat Anda.”
Mendengar pertanyaan tersebut, Dimasyqiyat menjadi gagap.
Ia tidak menjawab pertanyaan. Tetapi beralih pada tema-tema lain. Lalu Syaikh
Salim mengingatkan kepada hadirin, bahwa Dimasyqiyat menghindar dari jawaban.
Kemudian Syaikh Salim mengulangi pertanyaannya yang tadi dengan pertanyaan
tambahan. Yaitu riwayat hadits seorang tuna netra yang diajari oleh Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam agar berdoa, “Ya Muhammad, sesungguhnya aku
menghadapkan diriku kepada Tuhanku dengan perantara dirimu.” Hal ini agar
dilakukan bukan di hadapan Rasul shallallahu alaihi wasallam. Hadits ini
shahih, riwayat al-Thabarani dan lainnya. Al-Thabarani dan lainnya juga
menilainya shahih.
Syaikh Salim berkata: “Apakah Anda berasumsi wahai
Abdurrahman, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah mengajarkan
kesyirikan, dan bahwa sahabat yang menjadi perawi hadits tersebut serta al-Imam
al-Thabarani mengajarkan kesyirikan? Jelas ini tidak mungkin”. Mendapat
pertanyaan tersebut, tampak sekali Abdurrahman Dimasyqiyat lemah, di mana
moderator mengingatkan bahwa ia berupaya beralih dari jawaban, dan kelemahannya
jelas sekali.
Di tengah dialog tersebut, Abdurrhman Dimasyqiyat mengakui
bahwa ia telah menulis beberapa kitab untuk membantah al-Muhaddits al-Habasyi.
Akan tetapi ia menerbitkannya dengan memakai nama orang lain, seakan-akan
mereka yang menulisnya. Di antaranya kitab al-Radd ‘ala Abdillah al-Habasyi,
karya penulis palsu Abdullah al-Syami.
Anehnya, laki-laki ini menghendaki agar orang-orang percaya
sama dia. Padahal ia mengakui sendiri telah berbuat bohong dan merekayasa
dengan menulis buku yang dinisbatkan kepada nama-nama fiktif.
Setelah itu, Syaikh Salim mengulangi menyebut hadits
laki-laki tuna netra tersebut yang isinya, “Ya Allah, sesungguhnya aku memohon
kepada-Mu dan menghadapkan diriku kepada-Mu dengan perantara Nabi-Mu, Muhammad,
nabi pembawa rahmat”, serta menyebutkan para hafizh yang menilainya shahih.
Ternyata Abdurrhman Dimasyqiyat juga mengakui bahwa hadits tersebut shahih.
Lalu Syaikh Salim berkata: “Bagaimana kalian melarang
manusia bertawassul dengan Rasul shallallahu alaihi wasallam bukan di hadapannya,
padahal Rasul shallallahu alaihi wasallam telah mengajarkan laki-laki tuna
netra tadi untuk bertawassul dengan beliau bukan di hadapannya? Apakah kalian
akan mencabut keyakinan kalian. Atau kalian mengira bahwa kalian lebih pandai
dari pada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.”
Mendengar pertanyaan tersebut, Wahhabi yang berperilaku
aneh itu kebingungan. Ia kemudian berbicara banyak, tetapi tidak berkaitan
dengan topik pertanyaan.
Kemudian Syaikh Salim mengulangi pertanyaannya, serta
mengingatkan hadirin bahwa Dimasyqiyat melarikan diri dari jawaban.
Di sini, Abdurrahman Dimasyqiyat mengalihkan pembicaraan
pada kebohongan lain. Ia bermaksud mencela Syaikh al-Harari, untuk menutupi
kegagalannya. Ia berkata kepada Syaikh Salim: “Bagaimana Syaikh Abdullah
men-tahqiq kitab, yang di dalamnya terdapat redaksi bahwa sebagian auliya
berkata kepada sesuatu “kun fayakuun”, tanpa menentang redaksi tersebut, serta
mengingatkan rusaknya redaksi tersebut. Kitab tersebut telah dicetak dan saya
punya kopiannya.”
Mendengar pernyataan tersebut, moderator melakukan
intervensi, dan meminta kopian itu agar isinya bisa diperlihatkan kepada
hadirin. Ternyata semua yang hadir terkejut. Karena sampul kitab tersebut
membuktikan kebohongan Dimasyqiyat. Kitab tersebut bukan di-tahqiq oleh Syaikh
Abdullah. Kitab tersebut justru di-tahqiq dan dikoreksi oleh orang lain,
bernama Husain Nazhim alHulwani, dan diberi kata pengantar oleh Syaikh Muhammad
al-Hasyimi, bukan Syaikh al-Harari.
Di sini, untuk menambah jelas kelemahan dan keanehan ahli
bid’ah ini, Syaikh Salim berkata kepada Dimasyqiyat: “Kalian kaum Wahhabi
mengkafirkan orang yang mengusap mimbar Nabi shallallahu alaihi wasallam atau
makam Nabi shallallahu alaihi wasallam. Kalian mengklaim mengikuti golongan
Hanabilah, berpegang teguh dengan madzhab al-Imam Ahmad bin Hanbal. Padahal
Ahmad bin Hanbal berkata, “Boleh mengusap mimbar Nabi shallallahu alaihi
wasallam, dan pusar yang ada di mimbar itu.” Bahkan Ibn Taimiyah berkata dalam
kitab yang dinamakannya Iqtidha’ al-Shirath al-Mustaqim (hal. 367 terbitan
Mathabi’ alMajd al-Tijariyyah), “Ahmad dan lainnya memberikan keringanan dalam
mengusap mimbar dan pusar mimbar itu yang merupakan tempat duduk dan tangan
Nabi shallallahu alaihi wasallam.”
Bagaimana pendapat kalian? Apakah kalian mengkafirkan
al-Imam Ahmad, di mana kalian mengklaim mengikuti madzhabnya? Atau kalian
mengkafirkan Ibn Taimiyah yang kalian sebut Syaikhul Islam? Bukankah ini sebuah
inkonsistensi?”
Mendengar pertanyaan ini, Dimasyqiyat yang ahli bid’ah itu
tidak bisa menjawab. Ia tampak sekali kelemahannya. Lebih-lebih setelah Syaikh
Salim menambah penjelasan dengan menyebut kutipan al-Mirdawi al-Hanbali bahwa
Ibrahim bin Ishaq al-Harbi, seorang imam mujtahid berkata: “Disunnatkan mencium
hujrah (makam) Nabi shallallahu alaihi wasallam.”
Untuk mengalihkan persoalan, dan menjaga raut mukanya, yang
tampak sangat pucat sekali, Dimasyqiyat bertanya kepada Syaikh Salim tentang
firman Allah subhanahu wa ta’ala:
الََّرَّحْمنُ
عَلَى الْعَ رْشِ اسْتَوَى
“Allah Yang Maha Pengasih ber-istawa terhadap ‘Arsy.”
Mendengar pertanyaan tersebut, Syaikh Salim menjelaskan
persoalan tersebut dengan sejelas-jelasnya. Beliau memaparkan pendapat
Ahlussunnah WalJama’ah mengenai hal itu, bahwa istiwa’ Allah subhanahu wa
ta’ala terhadap ‘Arsy bukan seperti istiwa’-nya makhluk. Istiwa’ dalam ayat
tersebut, bukan diartikan duduk dan bukan pula menetap. Akan tetapi istiwa’
tersebut adalah suatu makna yang layak bagi Allah subhanahu wa ta’ala, yang
tidak menyerupai makna istiwa’ ketika disandarkan kepada makhluk, sebagaimana
dalam perkataan al-Imam Ahmad bin Hanbal, “Allah ber-istawa sebagaimana yang
diceritakan dalam al-Qur’an, bukan seperti yang terlintas dalam benak manusia.”
Meskipun Mu’tazilah sama dengan Ahlussunnah dalam
menafsrikan istiwa’ dengan makna menguasai (al-qahr) dalam ayat ini, maka hal
tersebut tidak bisa dibuat alasan mencela Ahlussunnah Wal-Jama’ah. Bukankah
Mu’tazilah juga mengucapkan kalimat la ilaha illallah (tiada tuhan selain
Allah). Apakah Ahlussunnah harus meninggalkan kalimat tersebut karena
Mu’tazilah mengucapkannya? Tentu saja tidak.
Setelah perdebatan berjalan dua jam. Sementara penjelasan
Syaikh Salim sangat bagus dan jitu. Sedangkan Dimasyqiyat, tidak mampu
memberikan jawaban. Untuk menutupi rasa malu, Abdurrahman Dimasyqiyat diam.
Kemudian para pengikut dan teman-teman Dimasyqiyat berdiri melakukan kerusuhan
dan tindakan yang anarkis secara kolektif. Sehingga sebagian hadirin meminta
mereka menghentikan tindakan brutal tersebut.
Setelah
mereka tidak mengindahkan pengumuman, akhirnya para hadirin menekan mereka dan
polisi mengumumkan selesainya acara. Akhirnya mereka mulai meninggalkan aula
Universitas Melbourne. Pada waktu itu, sebagian kaum Wahhabi berhasil merusak
kamera yang merekam acara dialog. Akan tetapi, untung kaset rekamannya masih
utuh dan dapat dipublikasikan sampai sekarang.
Out Of Topic Show Konversi Kode Hide Konversi Kode Show Emoticon Hide Emoticon