Terkadang kelompok yang anti madzhab menggugat kita dengan
pendapat sang pendiri madzhab atau para ulama dalam madzhab yang kita ikuti,
seakan-akan mereka lebih konsisten dari kita dalam bermadzhab. Kaum Wahhabi ketika
menggugat kita agar meninggalkan tahlilan dan selamatan tujuh hari selalu
beralasan dengan pendapat al-Imam al-Syafi’i yang mengatakan bahwa hadiah
pahala bacaan al-Qur’an tidak akan sampai kepada mayit, atau pendapat kitab
I’anah al-Thalibin yang melarang acara selamatan tahlilan selama tujuh hari.
Padahal selain al-Imam al-Syafi’i menyatakan sampai.
Kita kadang menjadi bingung menyikapi mereka. Terkadang
mereka menggugat kita karena bermadzhab, yang mereka anggap telah meninggalkan
al-Qur’an dan Sunnah. Dan terkadang mereka menggugat kita dengan pendapat imam
madzhab dan para ulama madzhab. Padahal mereka sering menyuarakan anti madzhab.
Pada dasarnya kelompok anti madzhab itu bermadzhab. Hanya
saja madzhab mereka berbeda dengan madzhab mayoritas kaum Muslimin. Ketika
mereka menyuarakan anti tawassul, maka sebenarnya mereka mengikuti pendapat Ibn
Taimiyah dan Ibn Abdil Wahhab al-Najdi. Sedangkan kaum Muslimin yang
bertawassul, mengikuti Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, para sahabat,
seluruh ulama salaf dan ahli hadits.
Ketika mereka menyuarakan shalat tarawih 11 raka’at, maka
sebenarnya mereka mengikuti pendapat Nashiruddin al-Albani, seorang tukang jam
yang beralih profesi menjadi muhaddits tanpa bimbingan seorang guru, dengan
belajar secara otodidak di perpustakaan. Sedangkan kaum Muslimin yang tarawih
23 raka’at, mengikuti Sayidina Umar, para sahabat dan seluruh ulama salaf yang
saleh yang tidak diragukan keilmuannya.
Ketika mereka menyuarakan anti madzhab, maka sebenarnya
mereka mengikuti Rasyid Ridha, Muhammad Abduh dan Ibn Abdil Wahhab. Sedangkan
kaum Muslimin yang bermadzhab, mengikuti ulama salaf dan seluruh ahli hadits.
Demikian pula ketika mereka menyuarakan anti bid’ah hasanah, maka sebenarnya
mereka mengikuti madzhab Rasyid Ridha dan Ibn Abdil Wahhab alNajdi. Sedangkan
kaum Muslimin yang berpendapat adanya bid’ah hasanah, mengikuti Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam, Khulafaur Rasyidin, para sahabat, ulama salaf dan
ahli hadits.
Syaikh Muhammad Rasyid Ridha, termasuk orang pertama yang
sangat kencang menyuarakan anti madzhab, dengan menulis karyanya al-Wahdat
alIslamiyyah fi al-Madzahib al-Fiqhiyyah. Akan tetapi, secara terus terang, ia
mengikuti pemikiran Syaikh Muhammad Abduh al-Gharabili. Kedua nama ini, Rasyid
Ridha dan Muhammad Abduh, serta Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab al-Najdi,
pendiri aliran Wahhabi, sebenarnya yang menjadi imam madzhab beberapa aliran
dan kelompok keagamaan yang anti madzhab di
Indonesia.
Ada dialog menarik untuk dikutip di sini, berkaitan dengan
bermadzhab. Yaitu dialog antara Syaikh Yusuf bin Ismail al-Nabhani al-Syafi’i,
seorang ulama besar yang sangat populer, dengan Syaikh Muhammad Rasyid Ridha,
seorang ulama Salafi yang menyuarakan anti madzhab.
Dalam mukaddimah kitab al-’Uqud al-Lu’luiyyah fi al-Madaih
al-Nabawiyyah,
Syaikh Yusuf bin Ismail al-Nabhani berkata: “Ketika saya
berkumpul dengan Syaikh Rasyid Ridha, saya berdialog dengannya tentang pribadi
Syaikh Muhammad Abduh, gurunya. Saya berkata:
“Kalian menjadikan Syaikh Muhammad Abduh sebagai panutan
dalam agama kalian, dan kalian mengajak manusia untuk mengikuti kalian. Ini
jelas tidak benar. Syaikh Muhammad Abduh itu bukan orang yang konsisten
memelihara kewajiban-kewajiban agama. Ia tidak sah menjadi panutan dalam agama.
Sebagaimana dimaklumi dan diakui oleh semua orang, Abduh seringkali
meninggalkan shalat fardhu tanpa ada uzur. Saya sendiri pernah menemaninya dari
pagi hari sampai menjelang maghrib, di rumah seorang laki-laki yang mengundang
kami di Jabal Lebanon. Abduh tidak shalat zhuhur dan ashar, tanpa ada uzur.
Bahkan ia sehat sekali. Dan ia melihat saya shalat zhuhur dan ashar, tetapi ia
tidak melakukannya.”
Mendengar pernyataan saya, Syaikh Rasyid Ridha mengakui
bahwa Abduh memang sering meninggalkan shalat fardhu tanpa ada uzur. Akan
tetapi Rasyid Ridha masih membelanya dengan memberikan jawaban: “Barangkali
madzhab beliau membolehkan jama’ shalat di rumah (fi al-hadhar).”
Saya merasa heran dengan jawaban Rasyid ini. Karena jama’
shalat itu hanya dibolehkan dalam bepergian, ketika turun hujan dan sedang
sakit menurut sebagian imam mujtahid, antara zhuhur dan ashar, serta antara
maghrib dan isya’, sebagaimana hadits shahih dari Nabi shallallahu alaihi
wasallam. Dan tidak seorang pun dari kalangan ulama berpendapat bahwa zhuhur
dan ashar boleh dijama’ dengan maghrib dan isya’. Oleh karena itu, kami sulit
menerima jawaban Rasyid Ridha.
Saya berkata kepada Syaikh Rasyid Ridha: “Lagi pula Syaikh
Muhammad Abduh tidak pernah menunaikan ibadah haji ke baitullah di tanah suci,
padahal ia mampu melakukannya. Dengan kemampuan yang ia miliki, berupa kekuatan
fisik dan finansial, ia seringkali pergi ke Paris, London dan negara-negara
Eropa lainnya. Tidak pernah terlintas dalam benaknya untuk menunaikan ibadah
haji, padahal negaranya dekat dengan Makkah. Jadi tidak diragukan lagi, bahwa
ia telah memikul dosa yang sangat besar dan meninggalkan salah satu rukun
Islam”.
Lalu saya berkata kepada Syaikh Rasyid Ridha: “Semua orang
sepakat bahwa Syaikh Muhammad Abduh dan gurunya, Syaikh Jamaluddin al-Afghani,
masuk dalam organisasi Masoni. Organisasi ini tidak ada kaitannya sama sekali
dengan agama Islam. Bahkan organisasi ini menolak semua agama, anti semua
pemerintahan, baik keagamaan maupun yang bukan. Bagaimana mungkin Syaikh
Muhammad Abduh menjadi panutan dalam agama Islam, padahal ia seorang Masoni.
Demikian pula gurunya.”
Mendengar pertanyaan saya, Syaikh Rasyid Ridha menjawab:
“Saya kan tidak ikut organisasi Masoni.”
Saya berkata: “Seandainya kalian berkata bahwa Syaikh
Muhammad Abduh itu seorang filosof Islam, seperti halnya Ibn Sina dan
al-Farabi, tentu kami dapat menerima, meskipun kenyataannya tidak demikian.
Karena hal itu tidak berdampak negatif pada kami dan agama kami. Adapun ketika
ia termasuk orang yang paling fasiq sebab meninggalkan rukun-rukun Islam, lalu
kalian berpendapat bahwa ia seorang imam (panutan) dalam agama Islam, tentu hal
ini merupakan kemungkaran yang tidak akan diterima oleh orang yang berakal.”
Mendengar pernyataan saya, Syaikh Rasyid Ridha berkata:
“Kami tidak menganggap Syaikh Muhammad Abduh seperti Ibn Sina. Akan tetapi kami
menganggapnya seperti al-Imam al-Ghazali.”
Rasyid Ridha ini memang orang yang sesat dan keras kepala.
Ia mengakui kalau Muhammad Abduh itu meninggalkan shalat dan haji serta menjadi
anggota Masoni. Tetapi, ia masih menyamakannya dengan al-Imam al-Ghazali.
Sebenarnya, setiap orang dari kelompok Wahhabi atau anti madzhab ini, meyakini
bahwa dirinya lebih hebat dari pada al-Imam al-Ghazali. Karena kelompok mereka,
baik yang besar maupun yang kecil, semuanya mengklaim sebagai mujtahid muthlaq.
Sedangkan al-Ghazali sendiri tidak mengklaim sebagai mujtahid muthlaq,
sebagaimana beliau jelaskan dalam Ihya’ ‘Ulum alDin.
Orang-orang Wahhabi atau anti madzhab itu, masing-masing
menganggap dirinya selevel imam madzhab yang empat radhiyallahu anhum. Perasaan
ini begitu menancap dalam benak mereka. Nasehat tidak akan mempan bagi mereka.
Mereka selalu berusaha agar orang lain mengikuti mereka, menjadi mujtahid
muthlaq. Demikian komentar Syaikh Yusuf bin Ismail al-Nabhani dengan
disederhanakan.
sumber (Buku Pintar Berdebat dengan wahabi)
baca juga: apakah-makna-cerdas-dalam-bermadzhab.
Out Of Topic Show Konversi Kode Hide Konversi Kode Show Emoticon Hide Emoticon