QS. an Nisâ`:
37
Sesuatu yang
disiapkan belum tentu bisa dirasakan ataupun dinikmati oleh seseorang. Semisal jamuan
makanan belum tentu atau tidak semuanya dinikmati oleh si tamu. Begitu pula neraka,
ia disiapkan untuk orang kafir sebagai janji hukuman. Akan tapi belum tentu
mereka memasukinya. Karena bisa saja Allah membatalkan apa yang dijanjikan-Nya
kepada mereka. Hal ini mengandung dua hal kebaikan; penyiapan neraka tidak
berarti untuk dirasakan dan pengampunan Allah atas kesalahan hamba.
QS. an Nisâ`:
38
Pribadi
seseorang bisa diketahui dari siapa kawannya. Jika kawannya adalah orang
baik-baik, besar kemungkinan ia seseorang yang berkepribadian baik. Namun jika
sebaliknya, jika berkawan dengan mereka yang berperangi buruk, biasanya ia
tidak jauh berbeda dengan mereka. Dan seburuk-buruk teman adalah setan.
QS. an Nisâ`:
39
Dalam banyaj
tempat, Allah hanya menyebutkan dua rukun iman yang ada, yakni beriman kepada
Allah dan kepada hari akhir. Penyebutan ini adalah karena dua hal itu sudah
mewakili semua rukun keimanan yang ada. Dari beriman kepada Allah akan lahir
keimanan pada kitab-Nya (yang berisi pesan, tuntunan dan ketentuan dari-Nya),
malaikat-Nya (sebagai perantara kepercayaan yang menyampaikan kitab kepada nabi
rasul), dan utusan-Nya (selaku pembawa kabar berita kepada manusia). Sementara
beriman kepada hari akhir akan membuat seseorang untuk berfikir seribu kali untuk
melakukan suatu kesalahan. Karena di sana masih ada neraka yang menantinya. Dengan
demikian, keduanya menjadi hal yang terpenting.
Menurut para
ulama, percaya kepada Allah harus mantap (100%). Jika kurang, yakni masih di
atas 50% (disebut zhann) ulama masih mentolelirnya. Hal ini karena oleh
al Qur’an mereka yang mengakui keimanannya pada taraf zhann disebut
sebagai orang yang beruntung (QS. al Hâqqah: 19-24). Selain itu,
keimanan Nabi Ibrahim juga pernah pada posisi tidak mencapai 100% (perhatikan
QS. al Baqarah: 260). Terkait keimanan Nabi Ibrahim ini, Nabi besabda bahwa
keimanan kita yang belum bisa mendapai 1005 itu lebih wajar daripada keimanan
Nabi Ibrahim saat itu. Ada satu tingkatan lagi dalam keimanan manusia, yakni syakk.
Keimanan yang hanya mencapai 50%.
Dalam kaidah
bahasa Arab, kejadian pada masa lampau digambarkan dengan fi’il mâdly.
Dan untuk menggambarkan kejadian yang sedang ataupun akan terjadi digunakan fi’il
mudlâri’. Hal ini berlaku dalam menafsirkan al Qur’an. akan tetapi ada
beberapa pengecualian dari hal ini. di antaranya adalah setiap fi’il mâdly
yang disandarkan kepada Allah ia tidak lagi bermakna masa lampau. Melainkan
juga terus menerus sampai pada suatu saat yang tidak dapat ditentukan. Jadi
maknanya berubah menjadi dari dahulu hingga sekarang dan sampai yang akan
datang. Misal kata kâna pada penggalan ayat wa kânallâhu bi kulli
syai’in `alîmâ. Berdasarkan kaidah ini, ayat tersebut tidak dapat
diterjemahkan “dahulu Allah mengetahui segala sesuatu”. Akan tetapi berubah
menjadi “dari dahulu hingga sekarang dan sampai masa yang akan datang, Allah
mengetahui segala sesuatu”
QS. an Nisâ`:
40
Dalam
menyampaikan pesannya, al Qur’an menggunakan bahasa Arab. Sebagaimana bahasa
lainnya, kosa kata pada bahasa Arab juga mengalami perkembangan dan peleburan
makna. Sebagai contohnya adalah kata dzarratun. Makna sebenarnya adalah
sesuatu terkecil yang bisa dilihat.Pada masa turunnya al Qur’an, kata ini diartikan
sebagai kepala semut atau debu pasir yang beterbangan. Dari masa ke masa, kata ini
mengalami perkembangan makna. Di satu waktu, pernah kata dzarratun ini
diartikan dengan atom. Karena memang itulah benda terkecil yang pada saat itu. Namun
pada saat ini, penerjemahan dzarratun dengan atom sudah tidak relevan
lagi. Karena ternyata atom sendiri masih bisa dibagi lagi menjadi bagian-bagian
yang lebih kecil.
Harf wawu
(kata penghubung) dalam Bahasa Arab memiliki arti penggabungan dua sesuatu yang
berbeda dalam waktu yang bersamaan. Banyak sekali redaksi ayat yang menggunakan
harf wawu ini. salah satunya adalah janji Allah bagi kebaikan yang
dikerjakan seorang hamba. Jika itu adalah kebaikan, maka Allah akan
melipatgadakan pahalanya dan masih menyiapkan surprise yang dahsyat dari sisi-Nya.
Oleh sementara ulama, dua hal ini dipahami sebagai kenikmatan dunia
(pelipatgandaan balasan) dan akhirat (pahala yang agung). Ada juga yang
mengartikannya dengan nikmat jasmani dan nikmat rahani.
Pelipatgandaan Allah atas pahala
yang dijanjikan kepada hamba-Nya, bisa berupa pelipatgandaan dua kali lipat darinya
(QS. al Baqarah: 265), sepuluh kali lipat (QS. al An’âm: 160), 700 kali lipat
(QS. al Baqarah: 261), dan pelipatgandaan yang tidak terhitung akal manusia.
Mari kita perhatikan ayat sebulir padi pada QS. al Baqarah: 261. Dalam ayat itu
ada tiga pelipatgandaan pahala atas kebaikan yang dilakukan seorang hamba,
yakni:
1.
700 kali; satu biji yang ditanam
akan tumbuh menjadi tujuh tangkai dengan 100 biji pada tiap tangkainya.
2.
Wallâhu yudlâ’ifu liman
yasyâ`; pelipat gandaan yang kedua ini bersifat sharîh (jelas
redaksinya) kendati tidak diebutkan berapa nominalnya.
3.
Wallâhu wâsi’un ‘alîm; melalui
fâshilah (penutup ayat) ini Allah ingin mengingatkan kembali pada kita
bahwa Allah adalah Dzat yang maha luas kasih sayang-Nya lagi maha mengetahui
perejuangan, kesungguhan, dan ketulusan usaha seorang hamba.
QS. an Nisâ`:
41
Sebelum
Islam, banyak sekali umat (kelompok) yang ada di muka bumi ini. Ada umat
Yahudi, Nasrani, Bani Israil, dan lain sebagainya. Masing-masing umat memiliki
utusan yang kelak akan menjadi saksi atas perbuatan mereka. Hal ini dimaksudkan
agar mereka tidak bisa mengelak dan beralasan atas kesalahan yang mereka
perbuat. Sehingga Allah bisa leluasa menghukum mereka.
Kata syahîd
bisa bermakna sesuatu yang disaksikan dan bisa juga sesuatu yang menyaksikan.
Karena memang demikianlah makna yang dikandung oleh kata dengan wazan fa’îl.
Kata syahîd dalam bahasa Indonesia diserap menjadi kata yang bermakna
pahlawan yang gugur di medan perang. Dalam konteks ayat ini, kata syahîd
bermakna saksi. Ia mengandung unsur kehormatan dan kepercayaan yang diberikan
oleh semua pihak. Seorang saki hendaknya bisa dipercaya persaksiannya. Jika
sudah dipercaya ia akan mendapatkan kehormatan dan pujian dari orang yang
mempercayainya.
Term hâ`ulâ` dalam
penghujung ayat ini memiliki dua makna:
1.
Umat Islam yang dibicarakan oleh konteks ayat
2.
Para utusan yang dijadikan sebagai saksi pada awal ayat.
Wa innaka la’alaa khuluqin azhiim
(pengakuan Tuhan yang agung atas keagungan akhlak Nabi Muhammad; tidak ada yang
bisa melebihi keagungan akhlaknya).
QS. an Nisâ`:
42
Term sakara berarti tertutup. Orang-orang yang mabuk disebut
dengan sukârâ karena mereka menutupi akal sehatnya sehingga tidak sadar
terhadap apa yang ada di sekitarnya. Begitu pula kata khamr yang seakar dengan kata khimâr (kerudung penutup kepala).
Minuman keras disebut khamr karena ia juga menutupi akal sehat
peminumnya. Larangan mendekati shalat dalam keadaan mabuk adalah bahwa orang
Islam – pada saat turunnya ayat – dilarang meminum minuman keras pada saat waktu solat akan tiba. Jika ia dikerjakan seusai melaksanakan
shalat, – saat itu – masih diperbolehkan.
Miuman keras adalah
budaya Arab yang sudah mengakar kuat dan susah untuk dihilangkan. Dari kondisi
ini, dalam pelarangannya Allah menempuh proses tadrîji (bertahap). Hal
ini bisa disimak dari empat ayat yang menunjukkan proses tersebut. yakni:
1.
QS. an Nahl: 67;
Dari korma dan anggur biasanya orang
Arab mengambil dua hal; sakar (sesuatu yang memabukkan) dan rizq hasan (sesuatu yang
baik). Dari sini mereka
menangkap isyarat bahwa keduanya merupakan
hal yang beda (perhatikan penjelasan makna wawu). Saat itu sudah ada beberapa sahabat yang memahami keburukannya dan
meninggalkan kebiasaan meminum arak.
2.
QS. al Baqarah: 219; Dari ayat pertama tadi mulai
ada sahabat yang menanyakan perihal khamr
yang disebutkan secara terpisah. Dalam ayat yang mengabadikan diskusi
soal khamr ini Allah memberi tahu bahwa pada khamr terdapat dosa besar dan
beberapa kemanfaatan dengan komposisi yang jauh berbeda antara keduanya. Dari
redaksi yang agak jelas ini, jumlah mereka yang paham akan bahaya khamr lebih
banyak. Namun demikian, masih
ada yang belum bisa meninggalkan kebiasaan meminum khamr. Akhirnya Allah pun mentolelir
mereka melalui ayat berikutnya.
3.
QS. an Nisa: 42; Melalui ayat ini mereka masih
diijinkan meminum khamr dengan catatan tidak dilaksanakan pada saat menjelang
masuknya waktu shalat. Ini karena orang yang melaksanakan shalat dalam
kondisi mabuk, tidak akan sadar atas ucapan dan gerakannya. Lebih dari itu,
shalat adalah salah satu bentuk doa.
4.
QS. al Mâ`idah: 90; Melalui
ayat ini, Allah tegas melarang minum khamr. Ketegasan ini digambarkan oleh
penggunaan kalimat berita.
Terkait tadrîji (bertahap)
pelarangan ini, pada jaman sekarang diperselisihkan oleh para ulama. Sebagian
mereka ada yang memperbolehkan dan masih menggunakannya ketika menjumpai kasus
yang mengakar kuat. Dengan catatan – semisal dalam khamr – jika yang bersangkutan
dinilai sudah siap dan mapan, ia harus meninggalkannya sama sekali. Namun ada
pula ulama yang tidak memperbolehkannya sama sekali. Baik bagi pecandu yang
baru masuk Islam ataupun tidak.
Penggalan
ayat ta’lamû
mâ
taqûlûn ada
sementara orang yang memahaminya dengan “mengetahui apa yang kalian ucapkan”. Secara
harfiyyah, pemahaman ini benar. Namun bukan makna itu yang dikehendaki. Yang
lebih tepat adalah “sadar atas apa yang diucapkan”. Sadar adalah lawan dari pada
kondisi mabuk.
Dosa
yang kita lakukan ada kalanya bersangkutan dengan Allah da nada pula yang
bersangkutan dengan manusia. Untuk dosa kepada Allah, seseorang cukup
beristighfar dan bertekad untuk tidak mengulanginya kembali. Jika sangat
kepepet untuk melakukannya kembali, lakukan dalam kondisi yang aman tidak
diketahui orang lain. Tujuannya adalah agar tidak mengundangnya untuk meniru
kesalahan itu. Adapun dosa yang berkaitan dengan orang lain, cara minta maafnya
adalah:
1.
Minta maaf langsung kepada
orang tersebut.
2.
Minta diambil alih oleh
Allah atas dosa itu. Yang jelas, jangan mencuci kotoran dengan air kotor. Atau
menutupi kesalahan dengan kebohongan.
Dengan al
syakûr-Nya,
Allah memberi sesuatu yang baik sebagai balasan atas kebaikan yang dilakukan
seorang hamba. Pemberian ini hanya berkaitan dengan kebaikan yang dilakukan.
Sifat Allah yang satu ini tidak berkaitan dengan pengampunan atas kesalahan
yang diperbuat hamba-Nya. Ia lebih tepat dihubungkan dengan sifat-Nya al
ghafûr.
Beberapa hal yang berkaitan
dengan perbudakan pada jaman sekarang:
1.
Sudah tidak ada perbudakan
lagi.
2.
Meskipun sudah masuk Islam,
ia tetap sebagai budak. Keislamannya tidak bisa menebus statusnya.
3.
Islam datang menganjurkan
pembebasan budak baik melalui diri pribadinya (dengan jalur mukâtab;
perjanjian antara budak dengan majikan agar memberinya gaji atas pekerjaan yang
dilakukannya guna menebus pembebasan dirinya) maupun dari luar (sangsi beberapa
pelangaran dalam Islam).
Resume Kajian Masjid al Barkah, Rabu, 1 Maret 2017
Syafiul Huda (Pesantren Bayt AlQuran PSQ)
Baca juga:pemimpin-adil-dicintai-rakyat.
Out Of Topic Show Konversi Kode Hide Konversi Kode Show Emoticon Hide Emoticon