Bid’ah hasanah adalah persoalan yang tidak pernah selesai
dibicarakan. Hal ini di samping karena banyak inovasi amaliah kaum Muslimin
yang tercover dalam bingkai bid’ah hasanah, juga karena adanya kelompok
minoritas umat Islam yang sangat kencang menyuarakan tidak adanya bid’ah
hasanah dalam Islam. Akhirnya kontroversi bid’ah hasanah ini selalu menjadi
aktual untuk dikaji dan dibicarakan. Toh walaupun sebenarnya khilafiyah tentang
pembagian bid’ah menjadi dua, antara bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah, tidak
perlu terjadi. Karena di samping dalil-dalil Sunnah Rasulullah shallallahu alaihi
wa sallam yang menunjukkan adanya bid’ah hasanah cukup banyak dan sangat kuat,
juga karena konsep bid’ah hasanah telah diakui sejak generasi sahabat pada masa
Khulafaur Rasyidin. Namun apa boleh dikata, kelompok yang anti bid’ah hasanah
tidak pernah bosan dan lelah untuk membicarakannya.
Dalam sebuah diskusi dengan tema Membedah Kontroversi
Bid’ah, yang diadakan oleh MPW Fahmi Tamami Provinsi Bali, di Denpasar, pada
bulan Juli 2010, saya terlibat dialog cukup tajam dengan beberapa tokoh Salafi
yang hadir dalam acara tersebut. Dalam acara itu, saya menjelaskan, bahwa
pembagian bid’ah menjadi dua, bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah, merupakan
keharusan dan keniscayaan dari pengamalan sekian banyak hadits Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam yang shahih dan terdapat dalam kitab-kitab hadits
yang otoritatif
(mu’tabar). Karena meskipun Rasulullah shallallahu alaihi
wa sallam bersabda:
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ ( t قَالَ قَالَ رَسُوْلُ ِ( :rإَِّ
خَيْرَ الْحَدِيْثِ كِتَابُ ِ( وَخَيْرَالْھُدَى
ھُدَى مُحَمٍَّدٍ وَشَُّرُّ اْلأمُُوْرِ مُحْدَثَاتُھَا وَكُُّلُّ بِدْعٍَةٍ
ضَلالََةُ . (رِواه مسلم).
“Jabir bin Abdullah
berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
“Sebaik-baik ucapan
adalah kitab Allah. Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad.
Sejelek-jelek perkara, adalah perkara yang baru. Dan setiap bid’ah itu
kesesatan.” (HR. Muslim [867]).
Termyata Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam juga
bersabda:
عَنْ
جَرِيْرِ بْنِ عَبْدِ (
الْبَجَليِّ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ ِ( r مَنْ سََّنَّ فِي اْلإسِْلامَِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أجَْرُھَا
وَأجَْرُ مَنْ عَمِلَ بِھَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أنَْ يَنْقُصَ مِنِْ
أجُُوِْرِھِمْ شَيْءٌ وَمَنْ سََّنَّ فِي اْلإسِْلامَِ سُنَّ ةً سَيِّئَةً كَانَ
عَليَْهِ وِزْرُھَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِھَا مَنْ بَعْدَهُ
مِنْ
غَيْرِ أنَْ يَنْقُصَ مِنْ أوَْزَارِھِمْ شَيْءٌ . رواه مسلم
“Jarir bin Abdullah
al-Bajali radhiyallahu anhu berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
bersabda: “Barangsiapa yang memulai perbuatan baik dalam Islam, maka ia akan memperoleh
pahalanya serta pahala orang-orang yang melakukannya sesudahnya tanpa dikurangi
sedikitpun dari pahala mereka. Dan barangsiapa yang memulai perbuatan jelek
dalam Islam, maka ia akan memperoleh dosanya dan dosa orang-orang yang
melakukannya sesudahnya tanpa dikurangi sedikitpun dari dosa mereka.” (HR.
Muslim [1017]).
Dalam hadits pertama, Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam menegaskan, bahwa setiap bid’ah adalah sesat. Tetapi dalam hadits kedua,
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menegaskan pula, bahwa barangsiapa yang
memulai perbuatan baik dalam Islam, maka ia akan mendapatkan pahalanya dan
pahala orang-orang yang melakukannya sesudahnya. Dengan demikian, hadits kedua
jelas membatasi jangkauan makna hadits pertama “kullu bid’atin dhalalah (setiap
bid’ah adalah sesat)” sebagaimana dikatakan oleh al-Imam alNawawi dan
lain-lain. Karena dalam hadits kedua, Nabi shallallahu alaihi wa sallam
menjelaskan dengan redaksi, “Barangsiapa yang memulai perbuatan yang baik”,
maksudnya baik perbuatan yang dimulai tersebut pernah dicontohkan dan pernah
ada pada masa Nabi shallallahu alaihi wa sallam, atau belum pernah dicontohkan
dan belum pernah ada pada masa Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Di sisi lain,
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam seringkali melegitimasi beragam bentuk
inovasi amaliah para sahabat yang belum pernah diajarkan oleh beliau. Misalnya
berkaitan dengan tatacara ma’mum masbuq dalam shalat berjamaah dalam hadits
shahih berikut ini:
عَنْ
عَبْدِالَّرَّحْمنِ بْنِ أبَِيْ ليَْلىَ قَالَ : (كَانَ النَّاسُ عَلَى عَھْدِ رَسُوْلِ ( r إذَِا جَاءَ الَّرَّجُلُ وَقَدْ فَاتَهُ شَيْءٌ مِنَ الَّصَّلاةَِ
أشََارَ إلِيَْهِ النَّاسُ فَصَلىَّ مَا فَاتَهُ ثُمَّ دَخَلَ فِي الَّصَّلاةَِ
ثُمَّ جَ اءَ يَوْمًا مُعَاذٌ بْنُِ جَبَلٍ فَأشََارُوْا إلِيَْهِ فَدَخَلَ وَلمَْ
يَنْتَظِرْ مَا قَالوُْا فَلََّمَ صَلىَّ النَّبُِّيُّ r ذَكَرُوْا لهَُ ذَلكَ فَقَالَ لھَُمْ
النَّبُِّيُّ r »سََّنَّ
لكَُمْ مُعَاذٌ «.وَفيْ
رِوَايَةِ سَيِّدِنَا مُعَاٍذٍ بْنِ جَبَلٍ : (إنَِّهُ قَ دْ سََّنَّ لكَُمْ مُعَاذٌ فَھَكَذَا فَاصْنَعُوْا). رواه أبوِ داود وأحمد ، وابن أبي شيبة ،وغيرھمِ، وقد صححه الحافظ ابن
دقيق العيد والحافظ ابن حزم.
“Abdurrahman bin Abi
Laila berkata: “Pada masa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, bila
seseorang datang terlambat beberapa rakaat mengikuti shalat berjamaah, maka
orang-orang yang lebih dulu datang akan memberi isyarat kepadanya tentang
rakaat yang telah dijalani, sehingga orang itu akan mengerjakan rakaat yang
tertinggal itu terlebih dahulu, kemudian masuk ke dalam shalat berjamaah
bersama mereka. Pada suatu hari Mu’adz bin Jabal datang terlambat, lalu
orang-orang mengisyaratkan kepadanya tentang jumlah rakaat shalat yang telah
dilaksanakan, akan tetapi Mu’adz langsung masuk dalam shalat berjamaah dan
tidak menghiraukan isyarat mereka, namun setelah Rasulullah shallallahu alaihi
wa sallam selesai shalat, maka Mu’adz segera mengganti rakaat yang tertinggal
itu. Ternyata setelah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam selesai shalat,
mereka melaporkan perbuatan Mu’adz bin Jabal yang berbeda dengan kebiasaan
mereka. Lalu beliau shallallahu alaihi wa sallam menjawab: “Mu’adz telah memulai
cara yang baik buat shalat kalian.” Dalam riwayat Mu’adz bin Jabal, beliau
shallallahu alaihi wa sallam bersabda; “Mu’adz telah memulai cara yang baik
buat shalat kalian. Begitulah cara shalat yang harus kalian kerjakan”. (HR.
al-Imam Ahmad (5/233), Abu Dawud, Ibn Abi Syaibah dan lain-lain. Hadits ini
dinilai shahih oleh al-Hafizh Ibn Daqiq al-’Id dan al-Hafizh Ibn Hazm
al-Andalusi).
Hadits ini menunjukkan bolehnya membuat perkara baru dalam
ibadah, seperti shalat atau lainnya, apabila sesuai dengan tuntunan syara’.
Dalam hadits ini, Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidak menegur Mu’adz dan
tidak pula berkata, “Mengapa kamu membuat cara baru dalam shalat sebelum
bertanya kepadaku?”, bahkan beliau membenarkannya, karena perbuatan Mu’adz
sesuai dengan aturan shalat berjamaah, yaitu makmum harus mengikuti imam. Dalam
hadits lain diriwayatkan:
وَعَنْ سَيِّدِنَا رِفَاعَةَ بْنِ رَافِعٍ t قَالَ : كُنَّا نُصَليِّْ وَرَاءَ النَّبِيِّ r فَلََّمَ رَفَعَ رَأسَْهُ مِنَ
الَّرَّكْعَةِ قَالَ (سَمِعَ ( لمَِنْ
حَمِدَهُ ) قَالَ رَجُلٌ
وَرَاءَهُ رََّبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ حَمْدًا كَثِيْرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا
فِيْهِ فَلََّمَ انْصَرَفَ قالََ (مَنِ الْ
مُتَكَلمُِّ؟) قَالَ : أُنََا قالََ : »رَأيَْتُ
بِضْعَةً وَثَلاثَِيْنَ مَلكًَا يَبْتَدِرُوْنَھَا أَُّيَُمْ يَكْتُبُھَا«. رواه البخاري.
“Rifa’ah bin Rafi’
radhiyallahu anhu berkata: “Suatu ketika kami shalat bersama Nabi shallallahu
alaihi wa sallam. Ketika beliau bangun dari ruku’, beliau berkata: “sami’allahu
liman hamidah”. Lalu seorang laki-laki di belakangnya berkata: “rabbana
walakalhamdu hamdan katsiran thayyiban mubarakan fih”. Setelah selesai shalat,
beliau bertanya: “Siapa yang membaca kalimat tadi?” Laki-laki itu menjawab:
“Saya”. Beliau bersabda: “Aku telah melihat lebih 30 malaikat berebutan menulis
pahalanya”. (HR. al-Bukhari [799]).
Kedua sahabat di atas mengerjakan perkara baru yang belum
pernah diterimanya dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam, yaitu menambah
bacaan dzikir dalam i’tidal. Ternyata Nabi shallallahu alaihi wa sallam
membenarkan perbuatan mereka, bahkan memberi kabar gembira tentang pahala yang
mereka lakukan, karena perbuatan mereka sesuai dengan syara’, di mana dalam
i’tidal itu tempat memuji kepada Allah. Oleh karena itu al-Imam al-Hafizh Ibn
Hajar al-’Asqalani menyatakan dalam Fath al-Bari (2/267), bahwa hadits ini
menjadi dalil bolehnya membuat dzikir baru dalam shalat, selama dzikir tersebut
tidak menyalahi dzikir yang ma’tsur (datang dari Nabi shallallahu alaihi wa
sallam), dan bolehnya mengeraskan suara dalam bacaan dzikir selama tidak
mengganggu orang lain. Seandainya hadits “kullu bid’atin dhalalah (setiap
bid’ah adalah sesat)”, bersifat umum tanpa pembatasan, tentu saja Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam akan melarang setiap bentuk inovasi dalam agama
ketika beliau masih hidup.
Selanjutnya pembagian bid’ah menjadi dua, bid’ah hasanah
dan bid’ah sayyi’ah, juga dilakukan oleh para sahabat Nabi shallallahu alaihi
wa sallam, termasuk Khulafaur Rasyidin. Al-Bukhari meriwayatkan dalam
Shahih-nya:
عَنْ عَبْدِ الَّرَّحْمَنِ بْنِ عَبٍْدٍ الْقَارِيِّ أنََّهُ قَالَ : خَرَجْتُ مَعَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ t ليَْلَةً فِيْ رَمَضَانَ إلى الْمَسْجِدِ
فَإذًِا النَّاسُ أوَْزَاعٌ مُتَ فَرِّقوُْنَ يُصَليِّ الَّرَّجُلُ لنَِفْسِهِ
وَيُصَليِّ الَّرَّجُلُ فَيُصَليِّْ بِصَلاتَِهِ الَّرَّھْطُ فَقَالَ عُمَرُ :tإنِِّيْ أرََى لوَْ جَمَعْتُ ھَؤُلاءَِ عَلَى قَارِئٍ وَاحٍِدٍ لكََانَ
أمَْثَلَ ثُمَّ عَزَمَ فَجَمَعَھُمْ عَلَى أبَُيِّ بْنِ كَعٍْبٍ ثُمَّ خَرَجْ تُ
مَعَهُ ليَْلَةً أخُْرَى وَالنَّاسُ يُصَلوُّْنَ بِصَلاةِ قَارِئِھِمْ قَالَ
عُمَرُ : نِعْمَتِ
الْبِدْعَةُ ھَذِهِ وَالتَِّيْ نَامُوْا عَنْھَا أفَْضَلُ مِنَ التَِّيْ
يَقوُْمُوْنَ يُرِيْدُ آخِرَ الليَّْلِ وَكَانَ النَّاسُ يَقوُْمُوْنَ أََّوََهُ . رواه البخاري.
“Abdurrahman bin Abd
al-Qari berkata: “Suatu malam di bulan Ramadhan aku pergi ke masjid bersama
Umar bin al-Khaththab. Ternyata orang-orang di masjid berpencar-pencar dalam
sekian kelompok. Ada yang shalat sendirian. Ada juga yang shalat menjadi imam
beberapa orang. Lalu Umar radhiyallahu anhu berkata: “Aku berpendapat, andaikan
mereka aku kumpulkan dalam satu imam, tentu akan lebih baik”. Lalu beliau
mengumpulkan mereka pada Ubay bin Ka’ab. Malam berikutnya, aku ke masjid lagi
bersama Umar bin al-Khaththab, dan mereka melaksanakan shalat bermakmum pada
seorang imam. Menyaksikan hal itu, Umar berkata: “Sebaik-baik bid’ah adalah
ini. Tetapi menunaikan shalat di akhir malam, lebih baik daripada di awal
malam”. Pada waktu itu, orang-orang menunaikan tarawih di awal malam.” (HR.
al-Bukhari [2010]).
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tidak pernah
menganjurkan shalat tarawih secara berjamaah. Beliau hanya melakukannya
beberapa malam, kemudian meninggalkannya. Beliau tidak pernah pula melakukannya
secara rutin setiap malam. Tidak pula mengumpulkan mereka untuk melakukannya.
Demikian pula pada masa Khalifah Abu Bakar radhiyallahu anhu. Kemudian Umar
radhiyallahu anhu mengumpulkan mereka untuk melakukan shalat tarawih pada
seorang imam dan menganjurkan mereka untuk melakukannya. Apa yang beliau
lakukan ini tergolong bid’ah. Tetapi bid’ah hasanah, karena itu beliau
mengatakan:
“Sebaik-baik bid’ah adalah ini”. Al-Bukhari meriwayatkan
dalam Shahih-nya:
وَعَنِ الَّسَّائِبِ بْنِ يَزِيْدَ t قَالَ : كَانَ النِّدَاءُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أََّوَلُ إذَِا جَلسََ الإمَِامُ
عَلَى الْمِنْبَرِ عَلَى عَھْدِ النَّبِيِّ r وَأبَِيْ بَكْرٍ وَعُمَرَ رَضِيَ (ُ عَنْھُمَا
فَلََّمَ كَانَ عُثْمَانُ t وَكَثُرَ النَّاسُ زَادَ النِّ دَاءَ الثَّالثَِ عَلىَ
الزَّوْرَاءِ وَھِيَ دَارٌ فِيْ سُوْقِ الْمَدِيْنَةِ . رواه البخاري.
“Al-Sa’ib bin Yazid
radhiyallahu anhu berkata: “Pada masa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,
Abu Bakar dan Umar adzan Jum’at pertama dilakukan setelah imam duduk di atas
mimbar. Kemudian pada masa Utsman, dan masyarakat semakin banyak, maka beliau
menambah adzan ketiga di atas Zaura’, yaitu nama tempat di Pasar Madinah.” (HR.
al-Bukhari [916]).
Pada masa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, Abu
Bakar dan Umar adzan
Jum’at dikumandangkan apabila imam telah duduk di atas
mimbar. Pada masa Utsman, kota Madinah semakin luas, populasi penduduk semakin
meningkat, sehingga mereka perlu mengetahui dekatnya waktu Jum’at sebelum imam
hadir ke mimbar. Lalu Utsman menambah adzan pertama, yang dilakukan di Zaura’,
tempat di Pasar Madinah, agar mereka segera berkumpul untuk menunaikan shalat Jum’at,
sebelum imam hadir ke atas mimbar. Semua sahabat yang ada pada waktu itu
menyetujuinya. Apa yang beliau lakukan ini termasuk bid’ah, tetapi bid’ah
hasanah dan dilakukan hingga sekarang oleh kaum Muslimin. Benar pula menamainya
dengan sunnah, karena Utsman termasuk Khulafaur Rasyidin yang sunnahnya harus
diikuti berdasarkan hadits sebelumnya.
Selanjutnya, beragam inovasi dalam amaliah keagamaan juga
dipraktekkan oleh para sahabat secara individu. Dalam kitab-kitab hadits
diriwayatkan, beberapa sahabat seperti Umar bin al-Khaththab, Abdullah bin
Umar, Anas bin Malik, alHasan bin Ali dan lain-lain menyusun doa talbiyah-nya
ketika menunaikan ibadah haji berbeda dengan redaksi talbiyah yang datang dari
Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Para ulama ahli hadits seperti al-Hafizh
al-Haitsami meriwayatkan dalam Majma’ al-Zawaid, bahwa Anas bin Malik dan
al-Hasan al-Bashri melakukan shalat Qabliyah dan Ba’diyah shalat idul fitri dan
idul adhha.
Berangkat dari sekian banyak hadits-hadits shahih di atas,
serta perilaku para sahabat, para ulama akhirnya berkesimpulan bahwa bid’ah
terbagi menjadi dua, bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah. Al-Imam al-Syafi’i,
seorang mujtahid pendiri madzhab al-Syafi’i berkata:
الَْمُحْدَثَاتُ ضَرْبَانِ : مَا
أحُْدِثَ يُخَالِفُ كِتَابًا أوَْ سُنَّةً أوَْ إجِْمَاعًا فَھُوَ بِدْعَةُ
الَّضَّلالةَِ وَمَا أحُْدِثَ فِي الْخَيْرِ لاَ يُخَالِفُ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ
فَھُوَ مُحْدَثَةٌ غَيْرُ مَذْمُوْمٍَةٍ . (الحافظ البيھقي، مناقب الإمام الشافعي، ١/٤٦٩).
“Bid’ah
(muhdatsat) ada dua macam; pertama, sesuatu yang baru yang menyalahi al-Qur’an
atau Sunnah atau Ijma’, dan itu disebut bid’ah dhalalah (tersesat).
Kedua,sesuatu yang baru dalam kebaikan yang tidak menyalahi alQur’an, Sunnah
dan Ijma’ dan itu disebut bid’ah yang tidak tercela”. (Al-Baihaqi, Manaqib
al-Syafi’i, 1/469).
Pernyataan al-Imam al-Syafi’i ini juga disetujui oleh
Syaikh Ibn Taimiyah al-
Harrani dalam kitabnya, Majmu’ Fatawa Syaikh al-Islam Ibn
Taimiyah (juz. 20, hal. 163).”
Setelah saya memaparkan penjelasan di atas, Ustadz Husni
Abadi, pembicara yang mewakili kaum Salafi pada waktu itu, tidak mampu
membantah dalil-dalil yang saya ajukan. Anehnya ia justru mengajukan
dalil-dalil lain yang menurut asumsinya menunjukkan tidak adanya bid’ah
hasanah. Seharusnya dalam sebuah perdebatan, pihak penentang (mu’taridh)
melakukan bantahan terhadap dalil-dalil yang diajukan oleh pihak lawan,
sebagaimana diterangkan dalam ilmu Ushul Fiqih. Apabila pihak penentang tidak
mampu mematahkan dalil-dalil pihak lawan, maka argumentasi pihak tersebut harus
diakui benar dan shahih.
Ustadz Husni Abadi berkata: “Ustadz, dalam soal ibadah kita
tidak boleh membuat-buat sendiri. Kita terikat dengan kaedah al-ashlu
fil-ibadah al-buthlan hatta yadulla al-dalil ‘ala al-’amal, (hukum asal dalam
sebuah ibadah adalah batal, sebelum ada dalil yang menunjukkan kebenaran
mengamalkannya)”.
Mendengar pernyataan Ustadz Husni, saya menjawab: “Kaedah
yang Anda sebutkan tidak dikenal dalam ilmu fiqih. Dan seandainya kaedah yang
Anda sebutkan ada dalam ilmu fiqih, maka kaedah tersebut tidak menolak adanya
bid’ah hasanah. Karena Anda tadi mengatakan, bahwa dalam soal ibadah tidak
boleh membuat-buat sendiri. Maksud Anda tidak boleh membuat bid’ah hasanah.
Lalu Anda berargumen dengan kaedah, hukum asal dalam sebuah ibadah adalah
batal, sebelum ada dalil yang menunjukkan kebenaran mengamalkannya. Tadi sudah
kami buktikan, bahwa bid’ah hasanah banyak sekali dalilnya. Berarti, kaedah
Anda membenarkan mengamalkan bid’ah hasanah, karena dalilnya jelas.”
HA berkata: “Ustadz, dalam surat al-Maidah, ayat 3
disebutkan:
الَْيَوْمَ اكَْمَلْتُ لكَُمْ دِيْنَكُمْ وَأتَْمَمْتُ عَليَْكُمْ
نِعْمَتِيْ .
“Pada hari ini aku
sempurnakan bagimu agamamu dan aku sempurnakan bagimu nikmat-Ku.” (QS.
al-Maidah : 3)”
Ayat di atas menegaskan bahwa Islam telah sempurna. Dengan
demikian, orang yang melakukan bid’ah hasanah berarti berasumsi bahwa Islam
belum sempurna, sehingga masih perlu disempurnakan dengan bid’ah hasanah.”
Saya menjawab: “Ayat 3 dalam surat al-Maidah yang Anda
sebutkan tidak berkaitan dengan bid’ah hasanah. Karena yang dimaksud dengan
penyempurnaan agama dalam ayat tersebut, seperti dikatakan oleh para ulama
tafsir, adalah bahwa Allah subhanahu wa ta’ala telah menyempurnakan
kaedahkaedah agama. Seandainya yang dimaksud dengan ayat tersebut, tidak boleh
melakukan bid’ah hasanah, tentu saja para sahabat sepeninggal Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam tidak akan melakukan bid’ah hasanah. Sayidina Abu
Bakar menghimpun al-Qur’an, Sayyidina Umar menginstruksikan shalat tarawih
secara berjamaah, dan Sayyidina Utsman menambah adzan Jum’at menjadi dua kali,
serta beragam bid’ah hasanah lainnya yang diterangkan dalam kitab-kitab hadits.
Dalam hal ini tak seorang pun dari kalangan sahabat yang menolak halhal baru
tersebut dengan alasan ayat 3 surat al-Maidah tadi. Jadi, ayat yang Anda
sebutkan tidak ada kaitannya dengan bid’ah hasanah. Justru bid’ah hasanah masuk
dalam kesempurnaan agama, karena dalil-dalilnya terdapat dalam sekian banyak
hadits Rasul shallallahu alaihi wa sallam dan perilaku para sahabat.”
HA berkata: “Ustadz, hadits Jarir bin
Abdullah al-Bajali, tidak tepat dijadikan dalil bid’ah hasanah. Karena hadits
tersebut jelas membicarakan sunnah Rasul shallallahu alaihi wa sallam. Bukankah
redaksinya berbunyi, man sanna fil Islaam sunnatan hasanatan. Di samping itu,
hadits tersebut mempunyai latar belakang, yaitu anjuran sedekah. Dan sudah
maklum bahwa sedekah memang ada tuntunannya dalam al-Qur’an dan Sunnah. Jadi
hadits yang Ustadz jadikan dalil bid’ah hasanah tidak proporsional.”
Saya menjawab: “Untuk memahami hadits Jarir bin Abdullah
al-Bajali tersebut kita harus berpikir jernih dan teliti. Pertama, kita harus
tahu bahwa yang dimaksud dengan sunnah dalam teks hadits tersebut adalah sunnah
secara lughawi (bahasa). Secara bahasa, sunnah diartikan dengan al-thariqah
mardhiyyatan kanat au ghaira mardhiyyah (perilaku dan perbuatan, baik perbuatan
yang diridhai atau pun tidak). Sunnah dalam teks hadits tersebut tidak bisa
dimaksudkan dengan Sunnah dalam istilah ilmu hadits, yaitu ma ja’a ‘aninnabiy
shallallahu alaihi wa sallam min qaulin au fi’lin au taqrir (segala sesuatu
yang datang dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam, baik berupa ucapan,
perbuatan maupun pengakuan). Sunnah dengan definisi terminologis ahli hadits
seperti ini, berkembang setelah abad kedua Hijriah. Seandainya, Sunnah dalam
teks hadits Jarir bin Abdullah al-Bajali tersebut dimaksudkan dengan Sunnah
Rasul shallallahu alaihi wa sallam dalam terminologi ahli hadits, maka pengertian
hadits tersebut akan menjadi kabur dan rancu. Coba kita amati, dalam teks
hadits tersebut ada dua kalimat yang belawanan, pertama kalimat man sanna
sunnatan hasanatan. Dan kedua, kalimat berikutnya yang berbunyi man sanna
sunnatan sayyi’atan. Nah, kalau kosa kata Sunnah dalam teks hadits tersebut
kita maksudkan pada Sunnah Rasul shallallahu alaihi wa sallam dalam terminologi
ahli hadits tadi, maka akan melahirkan sebuah pengertian bahwa Sunnah Rasul
shallallahu alaihi wa sallam itu ada yang hasanah (baik) dan ada yang sayyi’ah
(jelek). Tentu saja ini pengertian sangat keliru. Oleh karena itu, para ulama
seperti al-Imam al-Nawawi menegaskan, bahwa hadits man sanna fil islam sunnatan
hasanatan, membatasi jangkauan makna hadits kullu bid’atin dhalalah, karena
makna haditsnya sangat jelas, tidak perlu disangsikan.
Selanjutnya, alasan Anda bahwa konteks yang menjadi latar
belakang (asbab alwurud) hadits tersebut berkaitan dengan anjuran sedekah, maka
alasan ini sangat lemah sekali. Bukankah dalam ilmu Ushul Fiqih telah kita
kenal kaedah, al-’ibrah bi ’umum al-lafzhi la bi-khusush al-sabab, (peninjauan
dalam makna suatu teks itu tergantung pada keumuman kalimat, bukan melihat pada
konteksnya yang khusus).”
HA berkata: “Ustadz, menurut al-Imam Ibn Rajab, bid’ah
hasanah itu tidak ada.
Yang namanya bid’ah itu pasti sesat.”
Saya menjawab: “Maaf, Anda salah
dalam mengutip pendapat al-Imam Ibn Rajab al-Hanbali. Justru al-Imam Ibn Rajab
itu mengakui bid’ah hasanah. Hanya saja beliau tidak mau menamakan bid’ah
hasanah dengan bid’ah, tetapi beliau namakan Sunnah. Jadi hanya perbedaan
istilah saja. Sebagai bukti, bahwa Ibn Rajab menerima bid’ah hasanah, dalam
kitabnya, Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam fi
Syarth Khamsin Haditsan min Jamawi’
al-Kalim, beliau mengutip pernyataan alImam al-Syafi’i yang membagi bid’ah
menjadi dua. Dan seandainya al-Imam Ibn Rajab memang berpendapat seperti yang
Anda katakan, kita tidak akan mengikuti beliau, tetapi kami akan mengikuti
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan para sahabat yang mengakui adanya
bid’ah hasanah.”
HA berkata: “Ustadz, dalil-dalil yang Anda ajukan dari
Khulafaur Rasyidin, seperti dari Khalifah Umar, Utsman dan Ali, itu tidak bisa
dijadikan dalil bid’ah hasanah. Karena mereka termasuk Khulafaur Rasyidin. Dan Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam telah memerintahkan kita mengikuti Khulafaur
Rasyidin, dalam hadits ‘alaikum bisunnati wa sunnatil khulafair rasyidin
al-mahdiyyin (ikutilah sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin yang memperoleh
petunjuk). Dengan demikian, apa yang mereka lakukan sebenarnya termasuk Sunnah
berdasarkan hadits ini.”
Saya menjawab: “Ustadz Husni yang saya hormati, menurut
hemat kami sebenarnya yang tidak mengikuti Khulafaur Rasyidin itu orang yang
menolak bid’ah hasanah seperti Anda. Karena Khulafaur Rasyidin sendiri
melakukan bid’ah hasanah. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan
kita mengikuti Khufaur Rasyidin. Sementara Khulafaur Rasyidin melakukan bid’ah
hasanah. Berarti Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan kita
melakukan bid’ah hasanah. Dengan demikian kami yang berpendapat dengan adanya
bid’ah hasanah itu sebenarnya mengikuti Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
dan Khulafaur Rasyidin. Oleh karena itu, mari kita ikuti Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam dan Khulafaur Rasyidin dengan melakukan bid’ah hasanah
sebanyak-banyaknya.”
HA berkata: “Ustadz Idrus, kalau Anda mengatakan bahwa
hadits kullu bid’atin dhalalah maknanya terbatas dengan artian bahwa sebagian
bid’ah itu sesat, bukan semua bid’ah, lalu apakah Anda akan mengartikan teks
berikutnya, yang berbunyi wa kullu dhalalatin finnar, dengan pengertian yang
sama, bahwa sebagian kesesatan itu masuk neraka, bukan semuanya. Apakah Ustadz
berani mengartikan demikian?”
sumber :Buku Pintar Berdebat Dengan Wahhabi
baca: kejujuran-imam-syafii.
Out Of Topic Show Konversi Kode Hide Konversi Kode Show Emoticon Hide Emoticon