Diantara kita, masih beredar pemahaman bahwa
manusia adalah ciptaan Tuhan yang paling sempurna berdasarkan firman-Nya pada QS.
at Tîn: 4. Ini merupakan pandangan yang kurang tepat dan hendaknya ia melihat
firman yang lain yakni الذي أحسن كل شيئ
خلقه (QS. as Sajdah: 7). Setiap
makhluk diciptakan dalam kondisi yang terbaik sesuai fungsinya di dunia ini. Sebagian
mufassir berkata: dan fungsi itulah yang dijadikan Tuhan sebagai tolok ukur
penciptaan-Nya.
Sikap keberagamaan terhadap peristiwa Mina
1.
Tidak serta merta mengatakan takdir Tuhan, kendati Dialah yang
menentukan segala sesuatu; Karena jika demikian, seakan-akan kita tidak ada
kesempatan untuk mencegahnya. Dan boleh jadi, ini bentuk rasa penyalahan
terhadap Tuhan. Oleh kita, penyebutan takdir biasanya dikaitkan dengan sesuatu
yang tidak menyenangkan. Padahal, Nabi bersabda: an tu’mina bi al qodari khairihî
wa syarrihî (percaya kepada takdir, baik yang menyenangkan maupun tidak).
2.
Penghormatan terhadap Tuhan hendaknya tidak menyebut sesuatu yang
menimbulkan kesan negatif pada diri-Nya. Misalnya dalam menerjemahkan lafal takbir
(allahu akbar). Seharusnya ia diterjemahkan dengan “Allah lebih besar”
karena menggunakan isim tafdhil. Tapi kenyataannya tidak demikian, kita lebih
memilih terjemahan “Allah Mahabesar” dan memang begitulah seharusnya. Imam
Malik berpesan jika ada peminta bantuan
tapi kita tidak bisa memberinya, jangan katakan padanya “insyaAllah nanti Tuhan
akan membantunya”. Suasana tersebut bukanlah tempat yang pas untuk ungkapan
ini. Posisi resah akibat penderitaan yang tak kunjung berakhir bisa memunculkan
rasa pesimis lantaran tiadanya bantuan yang muncul dari Tuhan. Pesimis ini bisa
memunculkan rasa buruk sangka kepada-Nya. Ini sebuah rasa yang tidak wajar bagi
seorang hamba.
3.
Tidak menyebut tragedi Mina sebagai bentuk keburukan (syarr); Menurut
Ulama ada dua macam takdir yakni keburukan yang sedang atau sudah terjadi dan
yang berpotensi berakibat pada terjadinya keburukan tersebut. Bentuk yang kedua
ini biasanya sebagai akibat dari kebodohan dan kemaksiatan. Terkait dua
keburukan ini, Nabi mengajarkan kepada umatnya sebuah doa yakni: اللهم إني أعوذبك من شرور
أنفسنا ومن سيئات أعمالنا.
Dalam doa tersebut terdapat dua keburukan yang kita bermohon perlindungan
kepada Allah dari padanya. Dua hal itu adalah potensi keburukan yang tercermin
dalam penggalan pertama (شرورأنفسنا) dan
keburukan yang telah terjadi yang tercermin dalam penggalan kedua (سيئات أعمالنا).
Persoalan takdir tidak pernah dibahas pada
zaman Nabi dan sahabat besar. Terkait perbincangan sahabat tentang takdir Nabi
bersabda: bukan untuk itu kalian diciptakan. Pembahasan ini tidak akan
pernah menemukan kesimpulan yang memuaskan dan menenangkan. Yang ada hanyalah
berujung pada saling menyalahkan dan menyakiti satu sama lain. Yang jelas,
takdir bisa diperbaiki yakni dengan mencari penyebabnya untuk kemudian memperbaikinya
dan jangan berputus asa. Terkait hal ini ada satu note yang sangat baik untuk
kita renungkan bersama: umat Islam sukanya diskusi soal agama dan bukan hal
lain yang lebih bermanfaat, bahkan sering berakhir pada menyalahkan pihak lain.
Pembahasan takdir yang sehat adalah bukan dari
segi hakikatnya tapi bentuknya. Oleh al Qur’an, keburukan (salah satu bentuk
takdir) diperkenalkan dengan istilah bala’ dan mushîbah. Balak
merupakan kondisi yang murni dari Allah yang bisa berupa kabaikan ataupun
keburukan. Perhatikan firman Allah ونبلوكم بالشر والخير فتنة (QS. al Anbiya: 35). Sementara musibah merupakan kondisi baik
atau buruk seseorang sebagai akibat dari perbuatannya sendiri. Perhatikan
firman Allah dalam QS. an Nisa: 79 (ما أصابك من حسنة فمن الله وما أصابك من سيئة فمن نفسك).
Dengan demikian, kita harus mencermati dan
memperhatikan setiap keburukan yang terjadi. Jika berupa musibah berarti kita
harus mencari penyebabnya untuk kemudian dicarikan solusinya. Jika berupa
bala’, berarti kita harus yakin bahwa Allah akan memberikan pahala karena kita
dijadikan sebagai alat peringatan bagi yang lain. Kita harus sadar bahwa kita
adalah hamba-Nya, ‘abdun-Nya. Salah satu makna kata ‘abdun adalah
alat.
Abbad Mahmud al Aqqad menilai bahwa keburukan
itu kita perlukan agar tahu kebaikan. Lebih jauh ia berkata: untung ada setan
sehingga kita tahu kebaikan. Terkait keburukan ini, ada baiknya kita perhatikan
beberapa hal berikut ini:
1.
Tidak ada keburukan yang bersifat menyeluruh. Semua demi keseimbangan
kehidupan. Seperti hujan yang tidak baik bagi tukang lundry tapi bagus bagi
petani.
2.
Jangan terlalu sering memandang kehidupan secara parsial. Kekeliruan
kita adalah sering fokus pada keburukan yang terjadi. Kalau kita hanya fokus
pada tahi lalat yang menempel di wajah seseorang, boleh jadi kita akan berkata
itu buruk. Tapi jika melihat wajah itu secara keseluruhan, tidak jarang tahi
lalat tersebut makin menambah keindahannya.
3.
Keburukan bermacam-maca; al Qur’an menyebutnya dengan istilah bala’
dan mushîbah. Kita harus pandai membedakan dan menyikapinya.
4.
Yang terjadi di dunia ini tidak lepas dari dua hal. Yang pertama sunnatullah,
yakni segala sesuatu yang terjadi berdasar ketetapan sistem yang dibuat Tuhan. Sunnatullah
lebih dekat pada hukum sebab-akibat. Terhadap manusia, hal ini berlaku
menyeluruh tanpa pandang bulu keyakinan yang dianutnya. Yang kedua inayatullah,
yakni pertolongan Allah yang bisa membatalkan sunnatullah tadi. Seperti Nabi
Ibrahim yang tidak terbakar api.
Qadla merupakan ilmu Tuhan sementara qadar atau
takdir adalah pengejawantahannya. Doa bisa mengalihkan takdir pada hal lain
yang lebih baik. Hubungan antara qadla dan qadar Tuhan tidak ubahnya
pengetahuan kita akan jatuhnya anak kecil yang melintasi jalan yang ada kulit
pisangnya. Kita akan berkata “anak itu akan jatuh jika ia menginjak itu kulit
pisang. Tapi jika tidak, dia akan selamat”. Ungkapan prediktif kita tersebut
merupakan bentuk qadla. Sementara takdir yang terjadi kembali pada jalan yang
dipilih anak tadi. Demikianlah qadla dan qadar Tuhan. Doa adalah kesadaran akan
kelemahan manusia dan kekuatan Allah. Doa tidak selamanya menengadahkan tangan,
melainkan juga sikap kita. Seperti ada orang di jalan yang terlihat kasihan
kemudian kita memberinya sepeser uang tanpa ia meminta. Salah seorang ilmuwan
Perancis bidang kedokteran yang mendapatkan penghargaan nobel berkata: banyak
sekali pasien saya yang sembuh karena doa.
Wallâhu a’lam …
(Resume Kajian Prof. Quraish
pada Ahad, 4 Okt 2015)
Baca juga : muharram dan karbala
Out Of Topic Show Konversi Kode Hide Konversi Kode Show Emoticon Hide Emoticon