Dalil untuk berhijrah terdapat dalam QS. al
Baqarah: 218. Terkait dalil ini, segala aktifitas kebaikan yang dilakukan masuk
dalam kategori jihad. Menurut ulama, hijrah ada dua macam:
1.
Hijrah hissiyyah atau hijrah fisik, yakni perpindaha dari satu tempat ke
tempat lain karena tuntunan suasana dan tujuan tertentu. Misalnya hijrahnya
Nabi ke Madinah sampai ia menjadi negara pertama kali yang memiliki
undang-undang tertulis.
2.
Hijrah ma’nawiyyah atau hijrah ruhani, Nabi bersabda: المهاجر من هاجر مما نهى
الله عنه (yang berhijrah ialah orang yang menjauhi
larangan Allah). Hijrah model ini bisa dilakukan setiap muslim kapanpun dan
dimanapun. Ia harus memiliki semangat dan ghirah untuk berhijrah.
Nabi Muhammad dan
Nabi Ibrahim, oleh al Qur’an ditunjuk sebagai suri tauladan bagi umat jaman
sekarang:
1.
Nabi Muhammad (QS. al Ahzab: 21); Kelayakan Nabi sebagai suri tuladan
tercermin diantaranya dalam sikap Nabi atas tawaran Malaikat Jibril untuk
menghukum penduduk Thaif yang menyakitinya. Pada saat penawaran berlangsung,
Nabi memotong ucapan Jibril dengan doanya “semoga keluar dari keturunan mereka
orang yang menyembah Allah”. Lain halnya dengan Nabi Nuh, setelah merasa
dakwahnya tidak berbuah, ia mengiyakan tawaran Jibril untuk membinasakan kaumnya
yang membangkang (QS. Nuh: 26). Gambaran ketauladanan Nabi Muhammad juga
diabadikan dalam tahiyyat, yakni percakapan antara Allah dan Beliau saat
bertemu di sidratil muntaha. Saat itu, Allah hanya memberi salam kepada Beliau
saja. Namun dengan penuh kerendahhatian Beliau menjawab salam tersebut bukan
hanya untuk dirinya saja melainkan juga untuk orang salih.
2.
Nabi Ibrahim (QS. Mumtahanah: 4); Dia bergelar abul anbiya’ (the
grand father of prophet) karena dari dirinya muncul para nabi, terutama dari
garis Ishak. Pada diri Nabi Ibrahim terdapat banyak bukti akan ketaatannya
terhadap perintah Rabb-nya. Mulai dari meninggalkan anak dan istri yang baru
mengalami proses persalinan (QS. Ibrahim: 37), menyembelih anak terkasihnya
(QS. Shoffat: 102), dan lain sebagainya. Ucapannya diabadikan dalam sholat
yakni dalam doa iftitah (QS. An’am: 79, 162-163).
Terkait QS. al An’am: 79, wajah merupakan
cerminan kepribadian kita. Seperti kondisi marah, sedih, takut, senang, dan
sebagainya, semuanya bisa diketahui melalui raut wajah. Al Qur’an, melalui ayat
ini, mengajarkan kepada kita untuk memberikan wajah atau muka, yakni tidak
memalingkan wajah pada saat berkomunikasi.
Informasi penambahan kata hanîfan musliman
dalam doa iftitah termaktub dalam hadis Nabi. Para ulama berkata, meskipun kita
berusawatun hasanah kepada Nabi Ibrahim, kita tidak akan pernah bisa
menyamainya. Adakah orang tua yang bersedia menyembelih anaknya? Adakah ayah
yang tega meninggalkan anaknya yang baru lahir untuk perjalanan tugas yang
tidak terhingga waktunya? Dari sini digunakanlah kata musliman (yang
tengah-tengah) sehingga ada range sedikit dengan apa yang dilakukan Nabi
Ibrahim. Karena jika hanîfan saja, itu ibarat memberikan seluruh gaji
kepada pengemis. Namun karena ada tanggungan keluarga dan kebutuhan yang lain
akhirnya didatangkanlah kata musliman untuk menggambarkan bahwa yang
diberikan hanya sebagian dari gaji saja.
Secara garis besar, pola mendidik anak terbagi ke
dalam 3 kategori:
1.
Pola otoriter; yakni tidak ada pilihan bagi sang anak. Pola ini terkadang
perlu seperti di kalangan militer.
2.
Pola demokratis; yakni mengajak anak berbicara terkait
persoalan-persoalan si anak selaku yang akan menjalaninya.
3.
Pola permissif; yakni membiarkan anak mengatur hidupnya sendiri tanpa
campur tangan orang tua. Efek dari pola ini adalah melunjaknya sikap sang anak.
Hendaknya, pola ini dipilih hanya untuk keinginan anak yang ia bisa mempertanggungjawabkannya.
Nabi ibrahim, selaku uswah yang ditunjuk al
Qur’an, memilih pola otoriter dalam soal akidah sebagaimana yang tercermin
dalam wasiatnya (QS. al Baqarah: 132). Beliau juga memilih pola demokratis yang
tergambar jelas dalam percakapan terkait mimpi penyembelihan anaknya yang ketiga
kalinya (pada hari nahr). Hobi Nabi Ismail adalah berburu kambing gurun
liar. Terhadap hobi ini, Nabi Ibrahim sangat permissif dengan catatan tidak
mengalahkan kewajiban akidahnya.
Ayah selaku wali mujbir memiliki hak untuk
memaksa putrinya. Namun perlu digarisbawahi bahwa “hak pemaksaan” tersebut akan
lebih bagus jika hanya dipergunakan dalam situasi tidak normal. Misalnya pada
saat putrinya ingin menikah dengan orang yang tidak jelas, ayah harus
mencegahnya. Dalam kondisi normal, ia cukup memberikan rambu-rambu saja.
Dalam psikologi dikenal sebuah istilah sudo
demokratis, sepintas kelihatannya demokratis namun hakikatnya otoriter.
Misalnya si ayah sudah memilih mobil yang akan dibeli dan sudah membayar DP-nya.
Namun ia masih membicarakan dan memusyawarahkannya dengan anggota keluarga
sampai terjadi perdebatan yang lumayan seru. Atau kepala yayasan yang pura-pura
meminta masukan pendapat anggotanya.
Anak dalam usia kelas 4 atau 5 SD sudah bisa
dilatih menjadi pemimpin misalnya pada saat perjalanan mudik keluarga. Hendaknya
orang tua atau yang lain senantiasa meminta pendapat sang anak untuk segala
kebutuhan perjalanan semisal istirahat, makan, dan sebagainya.
Pendengaran merupakan alat yang paling pertama
berfungsi dan paling kuat. Perhatikan orang yang dihipnotis, dia bisa diajak
berkomunikasi. Perhatikan juga orang yang sedang dalam keadaan koma atau
pingsan, sebenarnya dia bisa mendengarkan ucapan orang disekitarnya. Terkait
kinerja pendengaran yang lebih dominan dari indera yang lain, banyak perintah al
Qur’an untuk berkata tegas (tsaqîl), baik (sadîd), lunak (layyinan), ma’ruf
(ma’rûfan), dan lainnya.
Beberapa kata-kata ajaib yang tidak boleh diremehkan
oleh pengasuh anak kecil antara lain: ungkapan apresiasif yang mampu
menumbuhkan dan memupuk rasa percaya diri anak meski saat itu ia tidak paham apa
yang kita ucapkan itu, permohonan maaf karena telah menyalahi janji, dan
ucapan tolong pada saat minta bantuannya.
Komunikasi transaksional atau perlakuan orang
dalam berkomunikasi ada tiga macam:
1.
Orang tua (parent); ungkapan orang tua kepada anaknya “adek, mau bantu
ibu gak?”
2.
Anak kecil (cild); ucapan istri kepada suami “awas lho, kalo lupa!”
3.
Dewasa (adult);
Terkait ketidakmungkinan seseorang untuk
terpisah dari teknologi yang semakin canggih ini, hendaknya orang tua tidak
menutup-nutupi anak dari teknologi tersebut. Mereka juga tidak boleh
membebaskannya dalam menggunakan terknologi tersebut. Beberapa hal yang bisa
dilakukan orang tua terkait teknologi dan demi kebaikan anak antara lain:
1.
Meletakkan komputer di tempat yang mudah diamati,
2.
Kesepakatan anggota keluarga agar tidak ada pasword untuk hp
masing-masing,
3.
Gunakan alat pendeteksi untuk mengetahui keberadaan sang anak,
4.
Membuat perjanjian sebelum pembelian barang yang diinginkan anak,
5.
Sesekali masuk kamar anak untuk mengecek konten perangkat elektroniknya,
6.
dan lain sebagainya.
Resume Kajian Halaqah Tafsir Pusat Studi Qur’an
pada Rabu, 5 Oktober 2015.
oleh Prof. Darwis Hude
baca juga Hadis Qudsi dan Kasih Sayang
Out Of Topic Show Konversi Kode Hide Konversi Kode Show Emoticon Hide Emoticon