Dalam Surat An-Nisa, kata akala berarti memperoleh.
Berbeda dalam ayat فكلوه هنيئا مريئا , ia bisa berarti memakan jika
mahar tersebut berupa makanan, membelanjakan jika berupa uang, atau memanfaatkan
jika ia dalam bentuk barang.
Kata bainakum mengandung kesan adanya
dua pihak yang saling berkaitan, baik dalam bentuk jual beli atau yang lain.
Kata bil bâthili merupakan stressing
yang harus dijadikan sebagai tolok ukur kegiatan tersebut. ia bisa mengarah
pada perzinahan, peminjaman, dan yang lain. Perzinahan, meski kedua belah pihak
sudah rela – baik dengan bayaran atau tidak – ini tidak dibenarkan oleh agama. Begitu
pula peminjaman dalam bentuk rente, meski ada kesepakatan antar peminjam dan
tukang rente, ini tidak dibenarkan karena ada unsur riba di dalamnya.
Kata illâ merupakan adât istitsnâ’ (kata
yang digunakan untuk mengecualikan sesuatu). ia memiliki dua makna:
1.
Istitsnâ’ muttashil; terjadi jika mustatsnâ (yang dikecualikan,
berada setelah illâ) merupakan bagian dari mustatsnâ minhu (sesuatu
atau golongan yang dikecualikan darinya, berada sebelum illâ). Dalam
penerjemahannya ia diwakili oleh kata kecuali.
2.
Istitsnâ’ munfashil; terjadi jika mustatsnâ bukan bagian dari mustatsnâ
minhu. Penerjemahannya lebih tepat dengan menggunakan kata tetapi.
Semisal فسجدوا إلا إبليس (al Baqarah: 34), diartikan “para malaikat
bersujud tetapi iblis tidak bersedia”. Ini karena iblis bukan bagian
dari malaikat. Iblis tercipta dari api (خلقتني من نار) sementara malaikat dari cahaya.
Kata illâ dalam ayat ini merupakan contoh dari
jenis yang kedua. Jenis pertama (mustatsnâ minhu) adalah memperoleh
harta dengan batil sementara yang kedua (mustatsnâ) adalah jual beli
yang direstui agama (وأحل الله البيع
وحرم الربو).
Sehingga maknanya kurang lebih “janganlah kalian memperoleh harta di antara
kalian dengan cara yang tidak direstui agama. Tetapi jika ia diperoleh
melalui perdagangan atas dasar saling rela, silahkan”.
Kata ‘an trâdlin bermakna harus ada
unsur saling menguntungkan dalam jual beli tersebut. Tidak menguntungkan
penjual dalam jumlah yang berlebihan sehingga memberatkan pembeli. Atau sebaliknya,
menyenangkan pembeli lantaran diperoleh dengan harga murah, meski penjual
merasa rugi besar. Dalam isitilah lain, tidak boleh ada unsur tatharruf
(ekstrimisme) dalam jual beli yang hanya membawa kemanfaatan pada diri penjual
atau pembeli saja. Keduanya harus bertemu di tengah-tengah (wasath).
Berbeda dengan orang Barat, mereka memperbolehkan ekstrimisme selama tidak
merugikan orang lain.
Rido merupakan pekerjaan hati yang tidak dapat
dijangkau oleh siapapun kecuali Allah dan dirinya sendiri. Atas dasar inilah
syari’at tidak memiliki wewenang untuk menilai apa yang ada pada hati
seseorang. Ia hanya membahas hal-hal yang berkaitan dengan sesuatu yang bisa
dilihat, didengar, dan dirasa. Oleh karena jual beli merupakan kegiatan nampak
mata dan tentunya diatur oleh syari’at, maka untuk diperoleh pngetahuan bahwa
sudah dicapai kerelaan terciptalah istilah îjâb qabûl (ungkapan serah
terima).
Setelah membahas cara perolehan harta, Allah
menyinggung soal pembunuhan. Ini karena tidak jarang harta bisa menyebabkan
saling bunuh membunuh. Kata wa lâ taqtulû anfusakum kendati secara
bahasa berarti larangan bunuh diri, dalam ayat ini bermakna membunuh orang
lain. Ini karena harta – oleh agama – dijadikan sebagai qiyâman lin nâs
(kemaslahatan masyarakat) dan itulah yang menjadi konteks ayat ini. Dalam
sebuah hadis Rasul menegaskan bahwa mencela orang tua merupakan dosa besar.
Mencela orang tua teman sama dengan mencela orang tua sendiri. Ini karena si teman
yang orang tuanya kita cela besar kemungkinan akan balik mencela orang tua kita.
Atau perhatikan larangan mencela sesembahan orang kafir dalam QS al An’am: 108.
an Nisa’: 30
Oleh al Qur’an, isim isyârah senantiasa
dikembalikan pada sesuatu yang paling dekat dengannya. Dalam ayat sebelumnya
ada dua hal yang memungkinkan untuk ditunjuk, yakni perolehan harta dan
membunuh. Dengan demikian, kata dzâlika pada ayat ini kembali pada
pembunuhan.
Membunuh berarti menghilangkan nyawa orang lain
atau mematikan karakternya. Hukuman untuk orang yang menghilangkan nyawa adalah
dibunuh atau dibiarkan dengan catatan tersendiri. Terkait pembunuh karakter,
inilah yang dijadikan pegangan dibolehkannya hukuman mati bagi pengedar
narkoba. Mereka telah membunuh banyak karakter manusia (dalam salah satu
maknanya) dan bahkan secara tidak langsung telah menghilangkan nyawa
penggunanya. Membunuh tanpa dasar yang dilegalkan agama merupakan dosa besar
sebagaimana syirik. Namun demikian, pelaku syirik tidak dihukum mati karena ia
merupakan hubungan yang hanya melibatkan dirinya dengan Allah semata. Bahkan,
jika ia meminta perlindungan harus dilindungi (QS at Taubah: 6).
Terkait pelanggaran, Islam mengajak umatnya
untuk memperhatikan dua hal yang diberi hak olehnya; pelaku dan masyarakat.
Terkait pelaku, Islam memberi hak berupa kesempatan untuk bertaubat. Sementara
terhadap masyarakat, ia memberi mereka kewenangan untuk melaksanakan hukuman
atau memaafkannya. Namun demikian, berdasarkan QS al Maidah: 34 ada pendapat
yang lebih memilih memaafkan pelaku pelanggaran setelah ia bertaubat dan ada
pula yang menyerahkan keputusan pada masyarakat. Jumhur ulama berpendapat bahwa
ketentuan ini (pemaafan hukuman bagi pelaku yang bertaubat) berlaku bagi semua
jenis pelanggaran.
an Nisa’: 31
Dosa kecil seorang hamba akan diampuni Allah
selama ia menjauhi dosa-dosa besar. Diantara dosa bear adalah syirik, membunuh
tanpa alasan yang dilegalkan agama, sihir, durhaka pada orang tua, dan beberapa
yang lainnya. Ayat ini diperkuat dengan hadis yang menjelaskan bahwa dosa kecil
akan hilang bersamaan dengan jatuhnya tetesan air wudu.
Ciri dosa besar menurut para ulama:
1.
Kesalahan yang pelakunya diancam dengan hukuman tertentu, semisal
berzina (QS an Nur: 2), mencuri (QS al Maidah: 38), qadzaf (QS an Nur: 4), dan
lain sebagainya.
2.
Kesalahan yang pelakunya diancam dengan neraka.
3.
Kesalahan atau dosa kecil yang terulang berkali-kali (لا صغيرة مع الإصرار)
an Nisa’: 32
Penambahan huruf ta’ ada kata iktasaba
(yang asalnya kasaba) mengandung makna kesungguhan. Ayat واتبعوا ملة إبراهيم berarti “ikutilah ajaran Ibrahim dengan
sungguh-sungguh”. Contoh lain adalah firman Allah لها ما كسبت وعليها ما اكتسبت . berdasarkan ayat ini dapat diambil makna
bahwa:
1.
Pada dasarnya manusia cenderung pada kebaikan. Mengambil uang pribadi
yang berada di laci akan terasa ringan (kasaba). Lain halnya ketika
mengambil milik orang lain, seseorang akan merasa tidak nyaman, merasa diawasi,
dan khawatir ketahuan (iktasabat).
2.
Kebaikan adalah sesuatu yang ringan dikerjakan dan tidak ada beban dalam
hati.
3.
Dalam melakukan kejahatan pasti ada unsur paksaan dan berat hati.
. Kita cukup bermohon pada Allah atas
anugerah-Nya yang luas. Dalam solat kita berikrar tidak akan mohon pertolongan
atau sesuatu yang lain kecuali kepada Allah. namun pada kesempatan lain, agama
menganjurkan kita untuk saling tolong menolong. Minta bantuan pada manusia
adakalanya ia masih berada dalam batas kemampuannya dan adakalanya diluar batas
kemampuannya. Yang dilarang adalah memohon pertolongan atas sesuatu yang berada
di luar batas kemampuan makhluk.
wallâhu a’lam bish shawâb
baca juga :M.Quraish Shihab: kesempurnaan Islam
Kajian Bulanan Rabu Malam Prof. M. Quraish Shihab di Masjid al Barkah
(an Nisa’: 29-32)
Out Of Topic Show Konversi Kode Hide Konversi Kode Show Emoticon Hide Emoticon