Finding The Truth

M.Quraish Shihab: HADIS QUDSI DAN KASIH SAYANG



Hadis Qudsi belum tentu benar (sahih) karena periwayatannya bisa melalui satu, dua, atau tiga orang yang boleh jadi kurang kuat hafalannya. Terkait hal ini, yang perlu kita ingat adalah tidak semua kebenaran yang tercermin dalam ‘hadis’ itu diucapkan oleh Nabi sebagaimana tidak semua yang ditinggal Nabi bernilai haram. Berikut beberapa ciri hadis dha’if:
1. Berisi amalan ringan dengan pahala yang luar biasa.
2. Redaksinya keliru meskipun dari segi kandungannya wajar. Hal ini terjadi karena tidak mungkin Nabi keliru dalam berbahasa Arab.
Sedangkan terkait pemalsuan Hadis, ada bebreapa faktor penyebab. Di antaranya
1. Adanya sekelompok kaum yang ingin merusak ajaran Islam dari dalam.
2. Adanya perasaan ingin dekat kepada penguasa pada diri perawi.
3. Adanya keinginan agar orang Islam lebih semangat dalam beribadah. Biasanya, hadis dha’if semacam ini dipalsukan oleh ahli tasawwuf dalam bentuk hadis fadail a’mal. Hal ini merupakan penyebab terbanyak akan munculnya hadis qudsi yang berkualitas dhaif.
Shofa berarti murni seperti segelas air yang belum kemasukan kerikil. Sementara makna khalish dapat dipahami dari kondisi bersih pada segelas air setelah kerikil tersebut dikeluarkan. Kemurnian yang dikandung oleh kata khalish lebih rendah kondisi murni yang dimiliki kata shofa. Karena tidakah mungkin kemurnian yang dimiliki segelas air yang sudah dibersihkan dari campurannya (kerikil tadi misalnya) dengan kondisi sebelumnya yang tidak tercampur suatu apapun.
Terkait dengan kata ikhlas, al Qur’an memperkenalkan dua kata yang seakar, yakni mukhlish (QS. al Bayyinah: 5) dan mukhlash (QS. Yusuf: 24). Pada kata mukhlish, pemurnian yang muncul berasal dari diri jiwa yang berangkutan. Sementara mukhlash upaya pembesihan yang ada berasal dari Allah. Dengan demikian, pada kata mukhlish, pembersihan berawal dari keinginan hamba dan ada usaha. Sementara mukhlash pembersihan tersebut bersifat mauhibah yakni karena keinginan Allah untuk memurnikannya. Meskipun pada hakikatnya, keduanya memiliki campur tangan Allah.
Ikhlas sendiri mempunyai beberapa tingkatan, yaitu:
1. Seorang hamba tidak merasa bahwa apa yang dilakukan adalah dari dia sendiri melainkan murni karena pertolongan Allah. Dari sini, ia merasa tidak ada alasan baginya untuk meminta imblan atas amalnya tersebut. Ini merupakan tingkatan ikhlas yang tertinggi.
2. Tingkatan yang kedua yakni masih adanya perasaan bahwa amal baik yang dikerjakannya berasal dari dirinya namun dibarengi dengan perasaan bahwa apa yang dipersembahkannya tersebut masih sedikit dan kecil jika dibandingkan dengan anugerah yang diperolehnya.
3. Tingkatan terendah adalah mengerjakan amal baik karena menginginkan surga dan takut neraka. Perlu diketahui bersama bahwa melakukan kegiatan karena Allah sambil berharap apa yang dijanjikan Allah (mengharap surga) dan takut akan apa yang dibenarkan Allah (enggan masuk neraka) itu diperbolehkan dan masuk dalam kategori ikhlas. Meskipun pada tingkatan ini terkesan adanya mempersekutukan Allah dengan surga dan neraka. Misalnya melakukan sholat karena Allah agar masuk surga dan terbebas dari neraka. Lain halnya jika mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang tidak direstui-Nya. Ini baru yang namanya syirik.

Hal yang berkebailkan dengan ikhlas adalah riya’ .Terambil dari ru’yat (melihat/dilihat) yang merupakan sinonim dengan kata sum’ah (ingin didengar); jika beramal agar dilihat atau didengar orang lain yakni ingin dipuji itu bukan ikhlash namanya. Perasaan riya’ ini bisa menghinggapi pelakunya mulai dari sebelum melakukan perbuatan baik hingga seusai melakukannya. Bisa jadi orang yang bersedekah dalam jumlah yang besar pada awalnya ikhlas. Namun setelah amalnya dipublikasikan, ia ada rasa bangga pada dirinya dan berencana bersedekah dengan jumlah yang lebih besar lgi. Dengan perasaan bangga ini bisa jadi sedekah yang direncankannya itu sudah tidak mengandung nilai keikhlasan.
Ada sebuah hadis qudsi yang kebanyakan dari kita masih belum tahu atau bahkan lebih sering kita lupakan. Hadis tersebut berbunyi “إن رحمتي غلبت غضبي” yakni kasih sayang-Ku mengalahkan kemurkaan-Ku. Dari hadis ini bisa dipahami bahwa Allah menghendaki hamba-Nya untuk memiliki kasih sayang dalam jumlah yang lebih besar dibanding rasa bencinya. Sehingga tidak ada perseteruan dan perpecahbelahan diantara mereka. Allah ingin kita meniru-Nya dalam hal yang wajar dan dengan usaha sesuai kemampuan kita. Terkait hadis ini ada pernyataan yang menarik yakni neraka tidak kekal. Mereka menganalogikan amarh-Ku (neraka) dikalahkan oleh rahmat-Ku (surga). Oleh karena neraka telah dikalahkan oleh surga, maka neraka hilang dan sirna.
Dasar semua ajaran agama adalah kasih sayang. Diantara bentuk kasih sayang Islam adalah tujuan akhir teks (al Qur’an dan hadis) terkait hukuman kejahatan adalah supaya pelaku tidak mengulang kembali kesalahan tersebut dan menjadi pelajaran bagi yang lain. Hukuman yang ditetapkan dan harus dijalankan ini adalah bentuk daripada kasih sayang dan bukan kekejaman. Islam mengajarkan pemeluknya untuk ber-ihsan yakni berbuat baik kepada orang yang pernah menyakitinya. Ini merupakan ajaran kasih sayang teringgi. Terkait kejahatan yang ada, Islam memperbolehkan pembelaan terhadap tersangka. Pembelaan ini tidak ditujukan untuk membenarkannya dan membuatnya memperoleh hukuman dari yang semestinya terlebih membebaskannya dari hukuman. Tujuan daripada pembelaan ini adalah untuk membantu hakim dalam memutuskan perkara agar putusan yang ditetapkan tidak berlebihan.
Bentuk kasih sayang Islam yang lain adalah pada saat pelaksanaan hukuman harus ada sifat tegas namun dibarengi dengan rahmat (belas kasihan). Sifat tegas dan rahmat (belas kasihan) dalam memberikan hukuman ini ‘sekilas’ bertentangan dengan QS. an Nur: 2 (dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk [menjalankan] agama Allah). Kasih sayang yang terdapat surat an Nur ini merupakan terjemahan dari kata ra’fatun. Dalam bahasa kta, kata rahmatun dan ra’fatun memiliki persamaan arti yakni belas kasihan. Namun demikian, pada hakikatnya keduanya memiliki perbedaan terkait dengan kuantitas, kualitas, dan obyeknya. Terkait kualitasnya, ra’fah merupakan belas kasihan yang melimpah melebihi rahmat. Dari segi obyek, kasih sayang yang muncul dari rasa ra’fah tertuju kepada orang yang memiliki hubungan baik. Sementara rahmat juga ditujukan kepada musuh. Dalam hal kuantitas, ra’fah dilimpahkan sesuai dengan jumlah belas kasih yang dimiliki tanpa mempedulikan kebutuhan penerimanya. Adapun rahmat, kadar belas kasih tersebut diberikan sesuai dengan kebutuhan penerimanya meskipun si pemilik rahmat masih memiliki sisa belas kasih dalam jumlah banyak.
Terkait dengan kasih sayang terhadap orang lain yang tidak seagama, semangat kita tidak boleh menggebu-gebu melebihi Tuhan yang berfirman lakum dinukum wa liya din. Melalui ayat tersebut Dia menyampaikan bahwa jangan sampai perbedaan agama membuat kita larut dalam permusuhan. Lebih jauh Dia mengingatkan bahwa kita dituntut hanya untuk menyampaikan risalah-Nya. Bukan menjadikan mereka untuk bersedia menerimanya.
Memahani teks tidak boleh keluar dari konteksnya, termasuk terhadap hadis. Jika keluar, maka agama terkesan kaku. Diantara kesepakatan ulamaadalah agama sesuai dengan tempat dan waktu. Sebagai contoh adalah apa yang dilakukan sahabat besar dalam menyikapi persoalan yang muncul pasca wafatnya Nabi. Abu Bakar melakukan apa yang tidak dilakukan Nabi, yakni membukukan AlQur’an. Umar melakukan apa yang sebaliknya dilakukan Nabi, yakni tidak memberikan zakat kepada mu’allaf (orang yang baru masuk Islam) dan tidak memotong tangan pencuri. Tindakan yang terkesan menyimpang ini dilakukan tanpa menafikan sunnah yang ada dan dalam rangka memenuhi tuntutan zaman. Praktik Islam bisa berbeda akibat berbedanya budaya. Budaya baik yang tidak bertentangan dengan al Qur’an dianjurkan untuk melestarikannya (يأمرون بالمعروف). Budaya senantiasa berkembang setiap saat.
Bagi ulama hadis istilah sahabat adalah perawi hadis dari kalangan sahabat. Berbeda dengan pendapat umum, sahabat adalah orang Islam yang bertemu Nabi dan meninggal dalam keadaan muslim. Jika menggunakan pendapat yang kedua, maka diantara sahabat ada yang dikecam oleh surat al-Munafiqun. Oleh karena itu, diantara mereka ada yang tidak adil (salah satu syarat untuk diterimanya riwayat yang disampaikannya). Terkait periwayatan hadis, kalangan ahlus sunnah enggan mengatakan bahwa para sahabat berbohong melainkan mereka lupa.
Pada saat Nabi lewat, ada beberapa sahabat yang berbincang soal takdir dan mereka saling menguatkan pendapatnya masing-masing. Kemudian Beliau bersabda bahwa saya tidak diutus untuk ini (perbincangan yang membawa pada perpecahan). Pada masa Umar perbincangan soal takdir dilarang keras karena sahabat yang satu ini memang tegas dan kuat. Pada Usman agak longgar mengingat usianya pada saat menjadi khalifah sudah memasuki usia tua. Pada masa Umayyah terjadi kemungkaran yang diantaranya adalah “ini sudah takdir, kita ikuti saja”. Syekh Abdul Halim Mahmud dalam karyanya al Islam wa al ‘Aql mengatakan: Umayyah ingin memantapkan kekuasaannya. Kemudian ia mengirim surat kepada seseorang di Madinah menanyakan bacaan Nabi setelah sholat. Kemudian dijawab اللهم لا مانع لما أعطيت .... Bacaan ini berisi penegasan bahwa semua yang terjadi sudah menjadi ketetapan-Nya yang harus diterima. Kemudian oleh Umayyah, hal ini disebarluaskan untuk melegitimasi bahwa peralihan kekuasaan dari sahabat Ali kepadanya merupakan takdir yang direstui Allah sehingga ia tidak punya kuasa untuk menolaknya. Terkait kejadian ini guru kita, prof Quraish, menyatakan bahwa “ini (menerima takdir) benar tapi kita bisa memilih takdir mana yang kita inginkan”.

Wallahu a’lam bi al shawaab


(Kajian Rutin Prof. Quraish pada 6 Setember 2015)
Syafi’ul Huda
(Pesantren Bayt AlQuran, Pusat Studi Quran)
Thanks for your comment